Thursday, July 26, 2007

Masih Saja

Menanti di ujung harap.
Menunggu di tepi asa.
Diombang-ambing gelombang bimbang.
Melihatnya semakin diam,
bagai seribu misteri di kegelapan malam.
tanpa bulan, tanpa bintang...
aku menanti di sini sendirian
di tengah padang pasir malam yang dingin dan gersang
tanpa bulan, tanpa bintang
hanya menatap kegelapan
entah kapan fajar 'kan tiba
membuka tabir gelap di mataku

Read More..

Friday, July 13, 2007

Entah.....

Limbung aku di penantian
kaki menancap mantap
mengakar selubungi hati.
Tanganku terbuka
wajah tengadah
menggapai-gapai harap dan do'a
Ku tunggu kau di sini, wahai pengikat janji...

Read More..

Sunday, June 10, 2007

TANTANGAN

Siapa yang menyangka, hanya dengan sebuah tantangan Laras dan Gema melangsungkan pernikahan. Restu, Putra, Beni, dan Nugroho menggeleng-gelengkan kepala tidak percaya dengan kenekadan pasangan itu. Mereka berempat adalah segelintir orang yang menjadi saksi bahwa pernikahan Laras dan Gema tak lain hanyalah sebuah tantangan dan taruhan antara Putra dan kedua orang yang sekarang sedang duduk dengan tenang di pelaminan.
Semua berawal dari pertemuan sore di kafe. Pertemuan itu khusus diperuntukkan bagi mereka-mereka yang tergabung dalam milis ‘obatanticinta’. Sebuah milis iseng-isengan yang hanya mengandalkan nama milis untuk menarik sekumpulan orang untuk saling berkenalan dan saling curhat. Milis ini dibuat oleh Nugroho. Awalnya semua hanya berjalan biasa-biasa saja. Posting-an kebanyakan mereka yang curhat mengeluarkan segala uneg-uneg tentang berbagai hal tapi tentu saja problema cintalah yang sering kali muncul dan dibahas. Sampai akhirnya sebuah posting muncul dan isinya adalah, “Gue percaya sama yang namanya cinta. Tapi gue sama sekali enggak percaya sama yang namanya laki-laki. Laki-laki dan cinta adalah dua hal yang tidak pernah bisa ada dalam satu kesatuan. Cinta bagi laki-laki hanyalah seks. Jadi laki-laki sama sekali tidak pantas menyandang yang namanya cinta.”. Itu adalah posting-an Laras.
Tak disangka banyak yang merespon posting-an itu. Tapi tak satu pun di-reply oleh Laras. Semua tak dipedulikannya. Hingga munculah satu respon.
“Kalo kata gue lu adalah cewe pengecut! Lu bisa ngomong kayak gitu berarti lu sama sekali ga tau apa-apa tentang cinta, apalagi tentang cowo. Dan gue yakin banget lu ngomong gitu karena lu punya pengalaman jelek sama cowo. Tapi lu terlalu pengecut untuk bisa mencintai seseorang lagi,” itulah balasan dari Gema.
Laras pun membalas,”Justru gue bilang gitu karena gue tau bener apa itu cinta, dan cowo sama sekali buta soal itu. Kenyataannya sudah jelas, tidak ada satupun cowo yang bisa seratus persen setia sama pasangannya. Mulai dari sekedar ngelirik, maen mata, dan bahkan sampe berani maen diranjang sama cewe yang bukan pasangannya. Plus tidak ada satupun cowo yang bersih dari pikiran jorok pas mereka lagi bareng sama pacar mereka. Dan semua didalihkan karena kondisi biologis cowo. Jadi, sekarang gue tanya sama elu apa pernah lu ga mikirin cewe lu naked pas barengan sama dia? I bet the answer is never!”
Balas-membalas milis itu terus berlanjut dan tak ada satu pun anggota milis lain yang ikut terlibat perdebatan sengit itu. Yang lain hanya mengikuti saja tanpa berani berkomentar.
Setelah satu bulan, masalah itu masih berlanjut dan permasalahannya makin meluas. Di pihak lain Nugroho tengah mempersiapkan sebuah pertemuan rutin tiga bulanan. Tak lama kemudian anggota milis pun bertemu di kafe itu. Sesuai dugaan Nugroho, teman-temannya yang lain pun ternyata ikut memperhatikan adu mulut via internet itu, termasuk Beni, Putra, dan Restu. Mereka bertiga penasaran seperti apa wajah Laras. Laras termasuk anggota milis baru. Gema sendiri adalah ‘pemain lama’ jadi Nugroho, Restu, Putra, dan Beni sudah cukup mengenalnya dari beberapa pertemuan sebelumnya.
Begitu Gema muncul hampir semua orang berkata,”Pasti lu penasaran sama yang namanya Laras.” Ia hanya mengangguk pasti dan tak sabar ingin segera mengetahui wajah pemilik kata-kata tajam itu.
“Kamu Gema?” tanya seorang perempuan dengan rambut panjang diikat seperti buntut kuda.
“Pasti Laras kan?” Gema balik bertanya. Laras tersenyum sinis. Lalu Gema mempersilahkannya duduk di meja tempat ia duduk bersama Nugroho, Putra, Beni, dan Restu. Hampir semua anggota milis yang hadir disitu melirik pada mereka berdua. Menerka-nerka akankah perdebatan di milis itu beralih lokasi.
“Sesuai tebakan gue, dari tampang lu keliatan banget kalo lu cewe keras kepala dan ga mau ngalah makanya wajar aja kalo cowo-cowo pada takut sama elu,” Gema memulai sindirannya. Beni menyikut lengan Gema.
“Tenang aja, Ben. Cewe beginian mah pasti kebal. Ga perlu pake sopan-sopanan segala,” kata Gema pada Beni terang-terangan.
Laras kembali tersenyum sinis. “Tebakkan gue juga ga meleset. Lu keliatan banget tipe cowo yang ga mau kalah, egois, dan sok tahu,” Laras membalasnya tak kalah sengit.
“Duuuh….udah deh! Apa ga cukup berantemnya di milis aja. Disinikan tempat kita silahturahmi. Ketemu muka. Bukannya tempat berantem,” Restu berusaha melerai.
“Iya. Kalian mestinya paham betul dong gue bikin tu’ milis bukan buat cari musuh. Udahlah apa yang diributin di milis jangan dibawa kesini. Justru harusnya pas ketemu diobrolin baik-baik. Toh orang bebas beropini. Dibawa santey aja lagi,” Nugroho ikut ambil bagian.
“Wah, Nug! Masalah beginian ga bisa dibawa santey. Penyelesaiannya kudu jelas. Lagi pula apa yang diomongin Laras itu sama sekali ga ada yang benernya,” Gema protes.
“Lho! Koq, ga bener? Apanya yang ga bener? Kan udah gue bilang cowo tuh dikepalanya ngeliat cewe tuh cuma seks, seks, dan seks. Bukannya elu sendiri yang bilang kalo itu udah dari sononya begitu,” Laras balik menyerang pernyataan Gema.
“Hei, Non! Walopun emang secara biologis cowo begitu ga berarti dia ga bisa nahan dong! Ya, mungkin elu nya aja yang terlalu pengen diliat menarik sama cowo, jadi wajar aja kali akhirnya yang ngedeketin elu ya cowo-cowo yang mentalnya rendahan dan akhirnya bikin sakit hati elu soalnya apa yang dia pengen dah didapet,” Gema membalas lebih pedas.
“Eh, Ma! Jaga omongan ya! Gini-gini gue masih virgin tauk!” Laras merasa tersinggung.
“Sukurlah kalo elu masih virgin. Setidaknya bakalan jadi satu nilai plus dimata cowo yang bakalan jadi suami elu,” Gema mencibir.
“Ya! Nilai plus karena dia bakalan dapet perawan, which means…..sekali lagi yang lu omongin adalah urusan seks. Bukannya itu yang diharepin semua cowo sama semua calon istri mereka, keperawanan bukan cinta yang tulus, ya kan? Apa gue bilang, buktinya udah nyata dan jelas!” Laras tetap tidak mau mengalah.
“Ya, Tuhan…..! Kamu tuh bener-bener nganggap remeh cowo, atau hati lu tuh emang udah buta!” Gema mulai naik pitam.
“Lho, emang apa yang mesti disanjung dari cowo? Gue ngeliat cowo tuh sama sekali enggak ada bagus-bagusnya. Cowo tuh bisanya cuma bikin susah aja. Yang katanya secara fisik lebih kuat malah jadi mahluk paling males di dunia. Yang katanya dikodratkan jadi pemimpin di keluarga malah jadi ‘pasukan takut istri’. Apa yang seperti itu yang ga layak diremehin???” kembali Laras berkomentar panjang.
“Heh! Perempuan! Denger ya…. Ga semua cowo tuh mikirnya ke situ doang. Emang kita bukan manusia apa?? Emang kita cowo ga punya perasaan apa?? Nih, gue contohnya! Gue sama sekali enggak nganggap cewe itu cuma alat pemuas biologis aja,” kelihatan sekali Gema sudah benar-benar marah.
“Alaaah…. Mana ada sih cowo yang mau ngaku. Semua yang lu omongin tadi dah berkali-kali gue denger dan dari yang gue tau cowo bilang gitu karena enggak mau dianggap rendah. Mana ada cowo yang ga egois,” bantah Laras.
“Yang egois itu siapa??? Elu juga cewe suka egois, ga mau ngalah, pengennya diperhatiin melulu. Asal lu tau ya, Ras. Gue nge-counter semua omongan elu karena gue tau apa itu cinta dan gue bukan tipe cowo yang asal ngumbar nafsu. Dan gue juga ga suka cewe yang pikirannya sempit kayak elu!” kembali Gema membalas. Kini Laras tidak membalas tapi terlihat wajahnya merah padam karena kesal yang mulai memuncak. Kalau saja ini bukan tempat umum ia pasti sudah berteriak dan menangis keras-keras.
“Laras, denger ya. Kalo elu bisa ngomong bahwa cowo tuh isi kepalanya cuma seks doang, gue juga bisa bilang bahwa cewe tuh isi kepalanya ga lain cuma dirinya sendiri, pengennya selalu dipuja, yang dipikirinnya cuma pengen terlihat menarik, dan bisa gampang dapet duit supaya bisa shopping dan beli ini beli itu. Bener kan??? Semua cewe cuma itu yang dipikirin, gimana lu cewe bisa terlihat semenarik mungkin,” Gema melanjutkan perkataannya. Laras masih terdiam seribu bahasa, bukan karena tak bisa membalas tapi karena amarahnya sudah sampai di ubun-ubun.
“Justru yang gue liat cewe sendiri suka ngemanfaatin kelebihan fisiknya dan kelemahan cowo supaya bisa dapet apa yang dipengenin. Sekarang gue balik nanya sama elu, apa bisa yang seperti itu disebut cinta yang tulus?!” Gema mengakhiri omelan panjangnya dengan penekanan di kalimat terakhir sambil matanya menatap tajam ke arah Laras.
“Uuugh!....Kamu…!” Laras makin kehilangan kesabarannya, tangan kanannya diangkat tinggi siap-siap mendaratkan telapak tangannya di wajah Gema. Gema dengan mantap tetap menantang tatapan mata Laras, tak bergeming. Restu memekik tak menyangka akan ada adegan fisik. Beni dengan tangkas segera menahan tamparan Laras. Nugroho hanya sempat berdiri terkaget-kaget.
“Ya, ampun….! Kalian berdua ini…..udah deh! Gema lu jangan mancing-mancing melulu dong….! Suasana jadi ga enak gini. Gue jadi ga enak sama yang punya kafe. Lu juga Laras, udahlah ga usah diperpanjang. Kalo kayak gini terus lama-lama gue ga punya pilihan selain ngeluarin kalian dari milis,” peringatan pertama Nugroho keluar dengan begitu mulusnya. Spontan Gema dan Laras diam. Walau bagaimana pun keduanya masih tetap ingin berada dalam milis.
“Percuma, Nug!” tiba-tiba Putra yang sedari tadi anteng dengan makanannya, berbicara.
“Percuma gimana, Put?” Nugroho tak mengerti.
“Mau lu keluarin mereka juga tetep aja bakalan berantem. Ga ada masalah yang terselesaikan. Satu-satunya cara untuk nyelesain ya dengan ngebiarinin mereka ngebuktiin sendiri pendapat siapa yang bener,” ucap Putra datar.
“Emang gimana caranya?” ucap Gema nyaris bersamaan dengan Laras. Putra akhirnya mengangkat wajahnya yangsedari tadi menghadap piring, lalu memandang Gema dan Laras bergantian.
“Iya, Put. Gimana caranya?” Restu mulai tak sabar.
Putra diam sejenak, lalu sambil kembali menghadap piringnya ia berkata dengan datar, “Kalian berdua kawin aja.”
“Huahahahahahaha!!!!!!” Kontan saja kedua manusia yang dari tadi bertengkar hebat itu tertawa kencang.
“Gue kawin sama orang kayak dia? Hahahahaha….! Kebagusan gue buat cowo kayak dia…..Hahahahaha….!” Laras tertawa puas.
“Put, lu sinting apa? Masa gue harus kawin cuma untuk ngebuktiin pendapat gue bener apa enggak! Hahahaha….! Gila kali ya elu! Hahahaha……!” Gema pun tak kalah puasnya.
Anggota milis lainnya yang dari tadi ikut nguping pertengkaran Laras dan Gema mulai riuh berbisik-bisik, sebagian ada yang terkekeh tertawa-tawa. Nugroho, Beni, dan Restu hanya mesem-mesem dan menggelengkan kepala.
“Tapi gue serius,” jawab Putra dengan tenang. Mendadak saja semua yang ada di meja itu diam.
“Lho koq serius?” tanya Laras dengan pandangan tak mengerti.
“Put, kawin tuh ga gampang, ga bisa sembarangan,” komentar Gema.
“Gue tau itu. Bukannya yang kalian pertengkarkan juga bukan hal yang sembarangan kan?” Putra balik bertanya. Laras dan Gema hanya berpandangan tak berani menebak apa yang sedang dipikirkan dalam kepala satu sama lain.
“Gue berani taruhan dalam waktu setahun kalian bakalan jadi pasangan yang paling mesra di dunia,” lanjut Putra tanpa menghiraukan perubahan raut muka dari kedua orang yang duduk berhadapan itu.
“Huh! Gue mesra sama dia, ga mungkin,” dengus Gema.
“Kenapa, Ma? Lu takut tebakan gue bener?” Putra kini menatap mata Gema tegas. Gema tak bisa menjawab. Laras sendiri kini pikirannya sedang sibuk menimbang-nimbang tantangan Putra.
“Enggak, gue ga takut,” jawab Gema setengah ragu.
“Oh….jadi lu mau kawin sama Laras,” ucap Putra tetap dengan nada suara datar sambil tetap menatap Gema. Laras langsung menatap tajam ke arah Putra.
“Kalo gue sih terserah Laras. Lagian ini cuma buat ngebuktiin omongan gue dan ngebuktiin ke elu kalo apa yang lu kira ga mungkin kejadian,” Gema membalas tatapan Putra. Putra balik menatap Laras, “Gimana?” tanya Putra. Isi kepala Laras masih disibukkan dengan bermacam-macam pikiran.
“Gini, kita jadiin taruhan aja,” lanjut Putra.
“Kalo kalian cerai dalam waktu setahun atau sebelum satu tahun, mobil BMW silver gue jadi milik elu berdua, terserah gimana mau ngebaginya. Tapi kalo ternyata lu tetep terus bareng sampe lebih dari setahun, apapun alesannya, gue minta elu berdua ciuman di depan kita semua. Nah, gimana? Berani?” tantang Putra.
“Ga ngelibatin orangtua kan?” Laras mulai ketakutan.
“Oh, ga bisa pernikahannya harus resmi, sah dan seperti umumnya orang menikah,” jawab Putra.
“Gue ga harus tidur sama dia kan, Put?” Gema mulai mempertimbangkan tantangan Putra.
“Itu terserah kalian berdua,” ujar Putra. Laras kini bisa bernafas lega.
“Nah, gimana Laras, Gema, kalian berani terima tantangan gue?” Putra kembali menantang.
“Oke, gue terima,” jawab Gema tegas. Laras tercekat, ia tak menyangka Gema menerima tantangan itu dengan serius. Sekali lagi orang-orang yang berkumpul di kafe itu riuh berbisik-bisik.
“Gimana, Laras?” Putra kembali bertanya. Laras masih diam, pandangan matanya tak menentu, bingung harus menjawab apa. Gema dalam hati berharap Laras tak akan mempermalukannya dihadapan seluruh anggota milis.
“Oke….,” akhirnya Laras menjawab setengah berbisik disambut tepuk tangan dan suitan dari orang-orang yang terus mengikuti percakapan mereka.
“Oke, kalo gitu kita udah sepakat dan ingat, tidak ada kata mundur setelah ini. Gue bakalan ngikutin terus setiap perkembangan kalian,” ucap Putra serasa menjadi pemenang hari itu.
“O, ya! Gue hampir lupa, kalo sampe enggak jadi kawin maka gue anggap elu berdua kalah jadi mau ga mau kalian harus tetep ciuman di depan kita semua, oke?” Putra mengakhiri kesepakatan dengan menjabat tangan Gema dan Laras.
“Oke, sodara-sodara se-milis. Gue perkenalkan calon pengantin kita, Gema dan Laras!” Putra meresmikan pertunangan. Kembali tepuk tangan dan suitan bergelora dalam kafe kecil itu.
Dan sekarang, Putra, Restu, Beni, dan Nugroho tengah duduk di kursi undangan yang berderet rapi. Mata mereka tak henti-hentinya memandang kedua mempelai yang duduk bersanding di pelaminan. Dua mempelai itu sedang bercengkrama mesra. Terlihat sangat serasi.
“Nug, kayaknya tahun depan lu mesti nyiapin acara ketemuan yang rada spesial. Gue punya feeling kita bakalan dapet tontonan seru dan BMW gue ga perlu dijual,” kata Putra pada Nugroho. Nugroho tersenyum, dalam hati ia menyetujui kata-kata Putra.

Savitri, Sept’06

Read More..

Thursday, June 07, 2007

Subdue to an Unstoppable Force

Feel like flying
But my feet stand on the ground
Feel like trembling
But the wind blows so smoothly
I get so many butterfly
On my tummy
On my mind
Love it
But……is it for real…

Feel like I’m awake in my dream
There’s no room for reality
I used to be a dreamer who’s afraid to dream
Now I’m living in my dream
Is this all the reason of those anxieties

Is this the answer for my prays
Might this be the end of those endless search
Wish to see you now
To witness all the feeling of your words
Hope to see it brightly through your face
Make all those doubts fade away

>>R_W

Read More..

Thursday, November 02, 2006

That Kiss

Sudah tiga bulan terakhir ini handphone-nya sering berteriak-teriak keras. ‘OOOMMM GIAAAN!!!!! ADA ES-EM-ES!!!! ADA ES-EM-ES!!!!’ Suara teriakan dua keponakan kembarnya yg sengaja ia jadikan suara message alert di-handphone-nya. Dua sahabatnya, Mahdi dan Luhut, sudah berkali-kali dibuat kaget oleh suara nyaring itu. Sering kali mereka protes.
“Hape lu di-silent aja napa?!!”
“Alamak!!! Gantilah suara keponakanmu itu dengan suara yang lebih halus.”
“Giaaan!!! Matiin hape lu!!!!”
“Woiy!!! Berisik!!!!”
Tapi Gian cuek saja. Suara itu baginya menandakan bahwa sedang ada ‘perburuan’ yang berlangsung. Dan untuk sementara waktu suara nyaring itu tak akan ada karena ‘sang pengirim sms’ tersebut sedang berada disampingnya. Dalam dekapannya.
Untuk kesekian kalinya, nick-name YM-nya telah berhasil menarik perhatian seseorang. Seorang perempuan tentunya. Kali ini namanya Lea. Pertemuan ini dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Gian. Untuk langkah awal ia harus menganalisa terlebih dulu ‘buruan’-nya. Apakah ‘buruan’-nya cukup layak untuk di-‘mangsa’ atau untuk menentukan strategi apa yang harus pakai agar ia bisa mendapatkan apa yang ia inginkan. Ya….apalagi kalau bukan one night stand. Perlu dicatat, dalam kamus seorang Gian tertulis kalimat dengan huruf tebal dan bergaris bawah. Kalimat itu berbunyi, Perempuan itu surga dunia dan hidup hanya sekali, jadi nikmatilah sepuasnya!!!
Dan sekarang seorang perempuan putih, mungil, dan manis yang berada dalam dekapannya ini juga adalah ‘surga dunia’ dan kesempatan untuk menikmatinya sedang terbuka lebar. Entah untuk keberapa kalinya strateginya berhasil lagi. Kini tinggal satu langkah lagi yang jadi penentu apakah ia akan bisa terus maju atau harus sedikit lebih bersabar.
“Lea, boleh minta sesuatu ga?” tanyanya hati-hati.
“Apa?” Lea balik bertanya.
“A kiss..,” ucapnya pelan. Ada jeda waktu yang membuat Gian cukup tegang menunggu jawaban Lea.
“Boleh,” jawab Lea. Gian cukup terkejut, ternyata semudah ini.
“Tapi matanya merem dulu dong…!” pinta Lea manja. Gian pun menurut saja tanpa protes. Lalu….

Hembusan nafas lembut Lea terasa dikelopak mata dan keningnya. Tercium wangi aroma bedak bayi dari tubuh Lea, spotan Gian menarik nafas dalam-dalam. Tak lama sebuah ciuman lembut perlahan terasa di kelopak matanya. Tak disangka bibir mungil itu mendarat dikelopak matanya. Bibir Lea terasa lembut dan sedikit bergetar. Cukup lama ia merasakan sensasi unik itu. Dan….
Entah kenapa saat itu ada sesuatu yang tak biasa menguasai relung batinnya. Dirasakannya waktu seperti berhenti. Persis mirip salah satu adegan film Matrix seolah kamera berputar 360 derajat untuk menangkap adegan still frame. Lalu kamera dengan cepat beralih fokus. Dan seperti layaknya kamera infra merah, sorotan kamera itu menembus tubuhnya dan menyoroti jantungnya yang berdegup kencang tak menentu.

Entah kenapa ciuman itu….. membuatnya merasa….. entahlah apa yang sebenarnya ia rasakan. Hanya saja ia tahu benar jantungnya berdegup makin kencang.
Lea menyudahi ciuman itu dengan membenamkan wajah Gian dalam pelukannya. Gian dibuatnya terpaku. Sibuk dengan degupan jantungnya dan perasaan halus yang perlahan namun pasti menjalarkan kehangatan ke dalam setiap seluk beluk hatinya yang dingin.

Kemudian Lea melepaskan pelukkannya lalu menatap mata Gian dalam-dalam dan berkata, “Lea ga tahu udah berapa perempuan yang pernah nyium Gian di bibir, tapi Lea berharap belum pernah ada satu perempuan pun yang nyium Gian disini.” Telunjuk Lea menyentuh lembut kelopak mata Gian sambil tersenyum tulus. Ketika telunjuk halus itu menyentuh bagian atas kelopak matanya, otomatis Gian memejamkan mata.
Kata-kata Lea meluncur begitu lembut dan polos dari bibirnya yang mungil. Ucapan itu terdengar seperti mantra baginya. Membuatnya makin mematung. Membuatnya mampu menahan segala macam gejolak yang berusaha menerobos dinding batinnya. Membuat dinding batin itu berdiri semakin kokoh dan melelehkan kalimat dalam kamusnya yang tercetak tebal dan bergaris bawah. Kalimat itu kini layaknya coretan kotor didinding yang sudah dihapus bersih.
Lea kembali mendekap Gian lalu sambil setengah berbisik di telinga Gian, ”Lea pengen Gian ga pernah lupa sama ciuman yang tadi. Lea pengen ciuman itu yang selalu ngebuat Gian pengen terus ketemu Lea dan terus pengen balik lagi ke Bandung.” Terasa Lea memeluk tubuhnya lebih erat. Wajah Lea bersentuhan dengan kulit lehernya. Lalu perlahan dirasakannya Lea menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya pelan. Sejenak Gian merasa ada sebuah beban yang telah terangkat dalam benak perempuan mungil ini. Kini ia mengerti, sedari tadi Lea menyembunyikan rasa takutnya. Begitu polosnya perempuan yang kini sedang memeluknya erat. Begitu lembut yang ia rasakan dalam hatinya. Nyaris saja ia merusak malaikat yang putih bersih ini.
She’s too precious to be a one night stand, urunglah sudah segala niatan dan rencana yang sudah disusunnya dengan apik sebelum pergi ke Bandung.

Hari ini, beberapa kali terlihat Gian melamun. Tanpa disadarinya kedua tangannya seolah berhenti mendapat perintah dari otaknya. Tatapan matanya menatap lurus-lurus ke layar komputer tapi sorot matanya seperti komputer yang nge-hang karena terlalu banyak menerima perintah untuk saling berebut tampil lebih dulu dilayar monitor.

Aaaahhhh…..!!! Sialan lu, Lea!!!! Lu hebat!!! Lu emang bener-bener bisa bikin gue pengen ke Bandung terus. Lea…! Lea…! Lea…!

Inilah yang membuat processor di kepala Gian berjalan amat sangat berat dan lambat. Lea. Hanya memikirkan satu gadis itu saja tampaknya sudah menghabiskan cukup banyak porsi processor dikepalanya. Ia tak menyadari perintah untuk kedua tangannya terhambat cukup lama untuk sampai ketujuannya hingga tangannya berhenti bergerak dan tidak segera meng-klik icon print.

“Oiy!!! Yan, lu ngapain disitu! Lagi be’telor! Mana design-nya? Buruan ntar Pak Sudir kelamaan nunggu.” Mahdi berteriak tak sabar dari ruangan sebelah. Gian tersadar dari lamunannya. Seolah teriakan Mahdi membuat ‘program Think about Lea’ menjadi not responding dan dengan terpaksa ia harus meng-klik tombol end task dalam kepalanya dan akhirnya seluruh jalur informasi berjalan amat lancar dari otak ke tangan kanannya. Lalu ia pun meng-klik icon print dengan kesadaran penuh.

Tak lama Gian pun keluar sambil membawa 2 map besar ditangan kanannya bersama surat penawaran yang baru saja di-print.
“Ini gambarnya, yang mulia Mahdi yang agung.” Diserahkan kedua map dan surat itu kepada Mahdi dengan wajah kesal yang dibuat-buat.
“Nah, gitu dong..! Lama amat sih! Emang lu dari tadi ngapain aja sih?”
“Ya, ga ngapa2-in. Cuma bikin surat penawaran aja.”
“Surat penawaran apa, surat cinta buat si Lea…,” Mahdi memulai serangan pertama. ‘Pertempuran’ ini sudah berlangsung sejak seminggu yang lalu. Sejak Gian mendapatkan ciuman yang tak diijinkan Lea untuk dilupakan. Mahdi sudah merasakan ada yang berbeda dengan ‘perburuan’ Gian kali ini.
“Siapa yang buat surat cinta? Kau, Yan? Alamak….seperti apa sih buruan kau kali ini sampai kau rela membuat surat cinta untuk dia.” Luhut ikut ambil bagian.
“Tampaknya kali ini Don Juan kita mulai kena batunya ya…? ” lanjutnya sambil mendongakkan kepala ke arah Mahdi.
“Sialan lu pada! Dah ah, gue mau keluar dulu. Asem nih mulut, kayaknya gue perlu cari asep dulu.” Gian berniat cepat-cepat menyingkir. Otaknya menangkap sinyal bahwa ia harus cepat-cepat menghilang dari ruangan itu sebelum ia dihantam habis-habisan oleh olok-olokkan dua sahabatnya.
“Cari asep apa cari inspirasi?” Mahdi melancarkan serangan keduanya sebelum Gian sempat melangkah pergi.
“Inspirasi cinta untuk neng geulis.” Luhut menambahkan sambil kedua tangannya terangkat keatas layaknya orang sedang membaca puisi. Melihat kelakuan Luhut, Mahdi tertawa terpingkal-pingkal. Gian hanya mengeleng-gelengkan kepala sambil menahan tawa.
“Emang susah ngomong ma kalian berdua. Gue keluar dulu bentar.” Gian langsung berlalu menghindari serangan selanjutnya.
“Yee… segitunya.” Mahdi setengah merajuk tapi sama sekali tidak digubris. Gian tetap menjauh dan keluar dari ruangan menuju lift.

Sekilas terdengar Luhut berkata, “Orang yang sedang jatuh cinta biasanya jadi sensitif….” Lalu entah apa lagi yang diucapkan Luhut selanjutnya yang ia dengar setelah itu hanya suara tawa terbahak-bahak sambil sesekali diselingi suara salah satu dari sahabatnya menyebut-nyebut namanya disela tawa mereka yang terpingkal-pingkal.
Cinta, hm…jadi gini rasanya cinta….

Dalam lift Gian menekan tombol dengan angka paling besar. Dan tak perlu makan waktu lama kini ia sudah berada di roof top. Tempat paling sempurna untuk menghisap sebatang rokok. Asapnya dengan bebas akan segera tertiup angin menambah sepersekian persen tingkat polusi udara Jakarta. Sepersekian persen udara kotor yang mungkin juga akan terbawa angin dan sampai ke Bandung lalu dihisap oleh Lea yang putih bersih dan mungil. Memikirkan itu tiba-tiba saja Gian menjatuhkan rokok yang baru saja dihisapnya dua kali lalu menggilasnya dengan kaki hingga rokok itu tak berbentuk. Ia terkejut dengan sikapnya sendiri dan menatap rokok yang hancur lebur itu seperti benda berharga yang sudah kadaluarsa masa pakainya.

Shit! Cuma kayak gitu doang udah bisa bikin gue pengen berenti ngerokok. Lea…Lea… lu tuh mahluk apaan sih sampe bisa bikin gue berasa nista sekaligus hebat….

Tolong diperhatikan, Gian merasa nista karena setelah pertemuan itu ia mengulang berkali-kali setiap adegan dan kata-kata yang diucapkan Lea. Dan berdasarkan hasil analisanya, ia merasa sepertinya Lea cukup sadar dengan setiap langkah dan strategi yang dilancarkannya sekaligus kearah mana semua itu dimaksudkan. Ini benar-benar membuatnya malu dan merasa menjadi manusia paling nista dihadapan Lea.
Tapi kenyataan bahwa Lea tidak menolaknya mentah-mentah dan malah mengikuti setiap langkah yang ia jalankan tanpa ragu telah membuatnya merasa menjadi laki-laki hebat. Bahkan terselip sebuah pengakuan sekaligus rasa bersyukur dihatinya bahwa ternyata dibalik kebrengsekannya sebagai laki-laki masih ada yang mau menghargai sisi terbaiknya. Rasanya saat ini, jika perlu ia sanggup menghentikan kegiatan seluruh umat manusia di bumi ini jika itu mengganggung seorang gadis bernama lengkap namun singkat Malea.
Hm…cinta dalam hati seorang Gian bisa begitu hebat sampai ia merasa sanggup menghentikan kegiatan semua umat manusia di dunia. Tak terbayang apa yang bakalan dilakukannya kalau cinta itu dirampas, diinjek, dibakar, digesek sampai lecek. Jangan-jangan seluruh dunia bisa dibakar habis. Serem juga ya….well, it’s not gonna happen in this story.

Di atas sini tak ada suara selain suara angin yang berdesing halus. Ada sedikit ketenangan yang mampu membuat Gian kembali hanyut dalam lamunannya. Program Think about Lea kembali bekerja dalam otaknya. Masih teringat jelas aroma bedak bayi saat itu. Wajah putih bersih yang polos serta aroma bedak itu membuat Lea tampak seperti malaikat mungil yang amat penyayang. Ada rasa sakit didadanya. Bukan sakit hati tapi sakit yang menyesakkan. Rasa kosong tapi menyesakkan dada hingga rasanya agak sulit bernafas. Padahal sudah berkali-kali ia coba menarik nafas dalam lalu menghembuskannya sama sekali tak ada tanda-tanda ia terserang sesak nafas. Terbukti dengan pasti bahwa ia masih dapat bernafas dengan baik tanpa tersenggal-senggal. Namun rasa kosong yang menyesakkan itu masih saja bercokol didadanya. Sama sekali tak ada tanda-tanda akan segera menghilang. Malah mungkin rasa itu akan bersemayam cukup lama disana.

OOOMMM GIAAAN!!!!! ADA ES-EM-ES!!!! ADA ES-EM-ES!!!!

Tiba-tiba saja handphone-nya berteriak keras. Kali ini ia dapat merasakan kaget yang sama seperti yang dirasakan dua sahabatnya itu belakangan ini. Tapi mungkin Mahdi dan Luhut harus semakin tabah dikagetkan dengan teriakkan itu karena sejak Lea tertawa renyah menggemaskan menanggapi suara sms masuk ke handphone-nya itu Gian makin bersikukuh untuk tidak mengganti teriakan keponakan kembarnya dengan apapun. Ia akan pertahankan hal sekecil apapun yang disukai Lea.

Ck, ck, ck…..cinta oh cinta….!

Pasti sms dari Lea. Tebakan yang tepat. Dan seperti biasanya sms Lea selalu diawali dengan empat huruf G, I, A, dan N yang diakhiri dengan lima atau empat titik yang menandakan bahwa pengirim sms itu sedang mengucapkan namanya dengan lembut. Ia tersenyum melihat rentetan huruf ritual singkat dalam sms itu. Senang rasanya setiap kali membayangkan namanya diucapkan dengan lembut dari bibir mungil Lea yang sama sekali belum pernah disentuhnya.
Rasa kosong yang menyesak itu sedikit berkurang. Ada rasa rindu yang lumayan terobati.

Gian….
Dah makan lom?
jgn lupa makan ya…
jgn lupa solatnya juga….

Solat. Perempuan mungil ini mengingatkannya untuk solat. Satu hal yang rasanya sudah lama sekali tidak ia lakukan. Perasaan menjadi manusia nista kembali muncul. Tapi anehnya perasaan itu selalu muncul dengan perasaan menjadi laki-laki paling hebat. Begitu hebat hingga sanggup membuat seorang malaikat seperti Malea sudi memberikan perhatian khusus padanya.
Ia pun mulai membalas sms Lea

Makasih ya sayang
dah ngingetin,
aq mo mkan skr
trus tar solat

Send
Message sent

Setelah pesan terkirim lalu ia kembali ke dalam. Dan begitu keluar dari lift handphone-nya berteriak lagi. Kali ini seorang perempuan yang kebetulan lewat terkejut. Tumpukan map ditangannya nyaris saja jatuh kalau temannya kurang sigap menahan tumpukan map-map itu.

Hm…sms balasan dari Lea.


Nanti kalo solat doa’in Lea ya…
Love you…

Ia berdo’a untuk seorang perempuan dalam solat. Belum pernah sekalipun ia lakukan itu. Malaikat mungil satu ini selalu saja membuat kejutan manis dalam setiap tingkah lakunya.

Baiklah kalau begitu, lebih baik solat dulu baru makan.

“Hei, Romeo! Mau kemana kau?” Luhut melihat Gian yang tak jadi masuk ke ruangan, muncul dari pintu kaca.
“Solat,” jawabnya singkat.
“Solat?!” Mahdi yang mendengar jawaban Gian mendadak bangkit dari duduknya lalu mendekati mereka berdua.
“Kau muslim?” tanya Luhut.
“Lho, emang gue muslim, masa lu ga tau,” jawab Gian.
“Aku kira kau sama seperti aku. Soalnya aku tak pernah lihat kau solat,” jelas Luhut.
“Eh, Yan. Lu kena virus apa sampe mau solat segala? Tumben-tumbenan nih!” Mahdi yang sudah berteman dengan Gian sejak masih kuliah belum pernah sekali pun melihat Gian solat meskipun ia yakin sahabatnya itu sama Islam-nya dengan dia.
“Kena virus Lea,” jawab Gian jujur sambil langsung melengos pergi. Seperti biasa menghindari serangan-serangan jitu kedua sahabatnya.
“Virus Lea….?” Tanya Luhut sambil menatap penuh tanya ke arah Mahdi setelah Gian pergi.
“Si pemburu balik diburu. Sekarang Don Juan kita sudah insaf. Hebat juga yang namanya Lea itu. Jadi penasaran juga gue gimana tampangnya,” jelas Mahdi.
Luhut pun mengerti.
“Wah…aku juga ingin kena virus semacam itu tapi aku tak mau sampai jadi Romeo setengah sinting seperti Gian,” kata Luhut. Mahdi tertawa mendengar ucapan sahabatnya ini.
Romeo setengah sinting, julukan baru Gian. Bukan Don juan lagi. Hanya dengan satu ciuman itu. Ciuman di kelopak mata yang katanya menandakan ketulusan hati. Mungkin ketulusan Lea terbaca oleh hati Gian hingga menyentuh the best part dalam diri Gian dan membuatnya sanggup menjadi lebih baik.
That kiss….that only one particular kiss…

Ck, ck, ck, ck….! Cinta….oh cinta….
It does can change everything, even the hardest part you can imagine…..

Materi lama yang baru sempet di-‘explore’ sampe beres
Savitri Agnesia M.
November 2006

Read More..