SURGA DUNIA*
Sudah hampir dua tahun lebih. Wajahnya tidak berubah. Hanya sekarang tidak ada kacamata yang bertengger di sana. Pey sepertinya agak sedikit gendut sekarang. Wajar saja mungkin karena jam tidurnya yang seperti kalong. Siang jadi malam, malam jadi siang. Atau bisa juga karena keseringan minum. Konon kebanyakan alkohol bisa membuat perut jadi sedikit tambun. Bukan cuma Pey yang jadi gendut. Olan malah berubah lebih ekstrim. Badannya semakin tinggi dan membesar. Dan….pipi tembem itu entah bagaimana bisa nemplok diwajahnya. Sempat aku ragu ketika tiba-tiba dengan senyum lebar dan wajah cengar-cengir Olan menyapaku. Rambut kribo yang diikat diujung kepalanya itu membuat aku seratus persen pangling. Beda lagi dengan si Congos, anak satu ini malah semakin kurus. Moga-moga saja kurus karena kelelahan mendentumkan senar basnya bukan karena benda-benda bejat yang selalu membuat orang kecanduan. Si Kuya sekarang memelihara kumis dan jenggot. Ia jadi kelihatan jauh lebih tua dariku. Tampangnya berbeda sekali dibandingkan dulu waktu dia memintaku mencarikan band yang butuh gitaris. Tidak ada tampang polos anak yang baru lulus SMA dan kebingungan mencari alasan supaya tidak dipaksa kuliah oleh ibunya.
Mendadak back stage itu menjadi tempat reuni darurat. Semua saling menyapa dan bertanya ini dan itu. Saling meng-up date hal-hal apapun yang bisa menambahkan beberapa memori tentang teman-teman lama yang menghilang dan tiba-tiba muncul lagi.
“Mana si Aa-nya?” Pertanyaan Pey seolah menjentikkan secuil ingatan yang lumayan membuatku terheran-heran ternyata ia masih ingat satu momen singkat itu.
“Oh… ga udah enggak lagi. Sekarang lagi ga sama sapa-sapa,” aku menjawabnya sambil menggerakkan kedua tanganku yang seolah mengisyaratkan jangan sebut-sebut lagi soal orang itu.
“Wah…yang bener masa nge-jomblo?” Sekilas aku menangkap sesuatu yang berkelebat dalam tatapan matanya. Pertanyaannya baru sempat ku jawab dengan senyum. Ucok tiba-tiba saja menepuk punggungku dan menyapaku. “Kemana aja, Teh?” Ucok sang drumer berbasa-basi dan percakapan pun berlanjut. Suasana reuni dadakan itu membuat banyak percakapan tak tuntas. Selain karena banyak yang nongol satu per satu dan saling menyapa, juga karena suara hingar-bingar pertunjukkan yang menghabiskan jatah frekwensi suara yang merambat ke telinga.
Setelah semua yang wajahnya ku kenal sudah kusapa. Aku mencari tempat untuk bersandar. Sedari tadi berdiri di depan panggung menemani Apauw memenuhi janjinya menonton penampilan temannya dipanggung, membuat kakiku pegal. Sebenarnya aku ingin sekali duduk tapi malu. Lagi pula kali ini aku pakai rok jadi bersandar saja sudah cukup membantu. Aku pun bersandar di sebelah Pey yang sedang bertukar nomor hape dengan Apauw.
“Sekarang menggang band apa, Teh?” tanya Pey tiba-tiba.
“Ah, sekarang udah pensiun. Capek nge-manajerin band melulu.” Dalam benakku berkelebat berbagai sensasi dari masa lalu, ketika masih rajin mengurusi anak-anak band dan ikut merasa senewen setiap kali mereka beraksi di-stage.
“Terus sekarang ngapain?” sekali lagi ia bertanya. Apauw yang tadi bercakap-cakap dengannya hanya celingak-celinguk mencari teman bicara yang lain.
“Sekarang sih ngelukis sama sekali-sekali ikutan pagelaran tari.”
“Tari?” ia kelihatan bingung. Wajar ia tak tahu aku juga suka menari.
“Tari sunda,” jelasku mencoba mengusir kebingungannya yang malah bertambah dengan ketidak percayaan. Wajar juga kalau ia tidak percaya. Seorang Cahyani Kasih yang ambisius dan cekatan berubah seratus delapan puluh derajat menjadi seorang pelukis dan penari sunda.
“Ya….sekarang lebih seneng ngejalanin yang kalem-kalem. Yang tenang-tenang. Pengen hidup lebih tentram,” lanjutku mengkonfirmasi kesungguhanku soal perubahan haluan hidupku. Pey menggangguk dan tersenyum. Raut wajahnya menunjukkan kelegaan yang tidak sepenuhnya aku mengerti.
Apauw yang tidak menemukan teman bercakap-cakap kembali menyita percakapan aku dan Pey. Walaupun aku, Pey dan Apauw dulu satu SMA tapi aku tak bisa mengikuti percakapan mereka. Mereka menyebutkan nama-nama yang tidak ku kenal. Mungkin nama-nama teman seangkatan mereka. Pey dan Apauw adalah teman seangkatan dan aku sendiri adalah kakak angkatan mereka. Kalau tidak salah aku lebih tua tiga tahun dari mereka.
Pey dan Apauw semakin larut dalam reuni mereka. Entah sudah berapa lama mereka tidak bertemu. Mereka begitu khusuk. Akhirnya aku hanya diam memperhatikan orang-orang yang lalu lalang sibuk mempersiapkan ini dan itu. Menjadi orang yang celingak-celinguk seperti Apauw sebelumnya. Tak sengaja siku Pey beradu dengan lenganku. Aku yang ada di sebelahnya tak sedikit pun bergeser. Ada sekelumit perasaan tak jelas namun ku tahan-tahan. Sikunya kembali beradu dengan lenganku. Aku tak bergeming. Lalu sekali lagi. Aku biarkan sikunya terus beradu dengan lenganku. Dalam pikiranku aku sempat berharap ia begitu untuk memastikan bahwa aku masih berdiri di sampingnya. Lucunya pikiranku itu. Segera aku tepiskan saja.
Karena diam dan tak ada teman bicara, pikiran yang aku tepiskan itu malah membuat otakku memaparkan secuil ingatan dua tahun yang lalu di sini, di tempat yang sama dan suasana yang kurang lebih mirip seperti sekarang.
Aku duduk sendirian tak ada teman bicara. Sementara yang lain ada yang bercakap-cakap, ada juga yang sibuk mengelap gitar. Adikku, Zaki, sibuk fingering dengan bas hitamnya. Waktu itu aku lihat Pey baru datang dengan teman-temannya. Band-nya sudah mulai naik daun. Band lokal yang sudah mulai dikenal karena rajin manggung dari kafe ke kafe dan sering nongol dibeberapa event. Aku menyalami mereka semua, bercakap-cakap sedikit lalu diam lagi. Pey sibuk meladeni beberapa orang yang menyapanya. Biasalah band yang digosipkan mulai dekat dengan artis management terkenal pasti sering jadi bulan-bulanan untuk jadi jembatan penghubung. Sesekali Pey melihat ke arahku dan tersenyum. Aku menangkap ada sesuatu yang tak biasa dari caranya menatapku. Sebut saja aku ke-geer-an tapi wajarkan kalau sebagian kecil hatiku mulai teradiasi senyumannya.
Setelah menyudahi basa-basinya dengan seorang laki-laki berdandanan serba putih dan bergaya RnB, Pey menghampiriku. Sebagian dari hatiku mengatakan ini dia. Pey ikut duduk disampingku dan mulai mengawali percakapan dengan basa-basi. Baru saja basa-basi itu sampai saling menanyakan kabar, dari balik kerumunan orang yang mulai berjejal di pagar pembatas back stage muncul orang yang kutunggu-tunggu, Jay. Aku membalas senyuman Jay begitu tatapan mata kami bertemu. Pey yang duduk disampingku terdiam. Ada perasaaan kecewa yang halus memoles raut wajahnya. Aku pura-pura tak menyadari kekecewaannya itu. Aku perkenalkan Jay padanya. Jay yang memang ramah membuat rasa bersalahku sedikit berkurang. Waktu itu pertama kalinya aku dan Jay jalan berdua. Pey yang tanggap situasi pamit dan bergabung dengan band-nya yang dari tadi ada dalam tenda putih tempat artis-artis bersembunyi dari fans mereka. Dari sudut mataku aku tahu Pey diam-diam mengamatiku dari celah penutup tenda yang tersingkap.
Seminggu kemudian Pey lewat di depan rumahku. Kebetulan waktu itu aku sedang menyiram mawar di halaman depan. Ia menghentikan motornya dan kami berbicara sebentar. Hanya basa-basi biasa tapi tidak biasanya ia menghentikan motornya dan turun menghampiriku untuk sekedar basa-basi saja. Biasanya ia hanya melambaikan tangannya sambil terus melaju ke rumah Rumi vokalisnya yang rumahnya memang berdekatan dengan rumahku. “Udah dulu ya Teh. Kayaknya anak-anak dah pada ngumpul,” katanya dulu, menyudahi basa-basi karena mobil Congos muncul di ujung jalan. Maaf Pey, kamu terlalu muda untukku itu yang aku pikirkan waktu itu. Dulu ketika hatiku masih didominasi oleh kehadiran Jay.
Sekarang Pey berdiri di sebelahku. Sedikit berubah tapi sorot mata itu masih tetap sama. Masih tersirat sekilas harapan di sana. Jujur saja aku terkejut melihat sorot mata itu. Hatiku yang kini polos tak berpenguasa berusaha tak terjangkiti wabah yang kerap kali membuatku kalap dan buta. Wabah itu bernama cinta.
Apauw pamit pulang. Dia mengingatkanku besok ada latihan tari. Aku diajak tampil di pagelaran tari yang sedang membuatnya panik kalang kabut karena salah-satu penarinya ada yang masuk rumah sakit. Kena demam berdarah katanya.
“Jam tiga sore ya Teh. Jangan lupa oke?” kata Apauw.
“Sip! Pasti dateng!” kataku.
Apauw pun pergi menghilang di keramaian orang-orang yang berseliweran. Aku dan Pey saling diam. Sebelum hening itu menjadi aneh dan kaku. Zaki yang juga ditinggal Ucok dan Congos menatap Pey. Mereka tersenyum. Seperti bicara dalam bahasa isyarat, mereka saling berbalas anggukkan kepala.
“Gimana kabar lu, Ki? Masih bergelimangan fans cewek?” Pey mencairkan hening.
“Ah… bisa aja. Bukannya lu yang sering disamperin cewek-cewek. Sekarang lagi jalan sama sapa?” tanya Zaki sambil menghampirinya dan merangkul pundaknya, menyelip diantara aku dan Pey. Otomatis aku bergeser. Aku jadi terhalang badan adikku yang tinggi dan berbahu lebar. Aku pun mengambil posisi dihadapan mereka berdua.
“Jomblo. Ga jalan sama siapa-siapa,” jawabnya setengah panik tanpa alasan jelas.
“Alaah…..masa sih..! Ga mungkin artis nge-jomblo,” goda Zaki.
“Eh, enggak serius. Lagi jomblo, Ki. Serius. Gue dah nge-jomblo delapan taun,” katanya sambil mengangkat lima jari kanannya dan tiga jari kirinya. Suaranya agak dikeraskan seolah ingin memastikan aku mendengar dengan jelas kata-kata nge-jomlo delapan taun. Kembali aku menangkap sorot mata berpengharapan itu. Aku tersenyum menanggapi percakapan itu.
“Pey!” Olan memanggil Pey untuk segera bersiap-siap. Pey mengangkat tangannya dan mengangguk.
“Masih lama kan di sini?” tanya Pey tetap dengan sorot mata yang penuh harapan itu. Aku membalas dengan anggukkan.
Pey pun pergi menghampiri seorang kru yang sedang mengeluarkan stand keyboard-nya.
“Pulang yuk!” kata Zaki tiba-tiba, tak peduli yang baru saja Pey tanyakan.
“Capek,” lanjutnya santai.
“Hayu,” jawabku datar. Jauh dalam hati aku ingin tetap ada di sana. Paling tidak sampai Pey selesai manggung. Entah kenapa aku tak berani bilang kalau aku masih belum mau pulang. Mungkin karena tak ada alasan yang cukup logis. Alasan yang tidak membuat Zaki bertanya-tanya. Entah kapan lagi aku bisa bertemu Pey. Biarlah. Lgi pula mungkin cuma perasaan saja.
Kesesokan malamnya aku berbaring kelelahan tapi tak mengantuk. Latihan tari sore tadi menjadi penggenap letihku hari ini. Pikiran dan hatiku yang tak genap menerawang mencari sesuatu yang mampu membuatnya menjadi bulat seperti angka genap yang tidak perlu menyisihkan satu angka tanpa pasangan. Pey berkelebat dalam benakku. Membuat dadaku menggumpal sesaat dan memaksaku menghembuskannya bersama udara dari paru-paruku. Kasian sekali hatiku ini. Ia selalu terlalu impulsif setiap kali radarnya menangkap tatapan mata yang tajam atau perhatian yang tak biasa dari seorang laki-laki. Ya, mungkin hatiku terlalu impulsif. Terlalu haus sehingga semua air diminum sekali pun air itu beracun. Ah…. Aku memang masih bego soal cinta. Setiap kali terasa ada yang bergetar sekalipun getaran itu halus sekali dan mungkin hanya getaran dari sekelumit rasa kagum bukan cinta, aku selalu merasa wajib mengejarnya. Menggapainya hingga bisa kulahap bulat-bulat. Bodoh. Bodoh!
Mendadak aku merasa begitu tolol. Hanya karena sikunya yang beradu dengan lenganku. Hanya karena ia bertanya apa aku masih lama ada di back stage. Hanya karena dulu ia tiba-tiba menghampiriku yang sedang bengong sendirian menunggu Jay. Hanya karena ia mau berhenti untuk berbasa-basi ketika aku menyiram mawar dulu. Hanya karena itu semua aku menyimpulkan itu sebagai cinta. Ya, Tuhan betapa konyolnya aku. Konyol. Bodoh. Tolol. Ah….lengkap sudah rasanya aku menjadi bulan-bulanan wabah yang namanya cinta itu. Funny thing called love that feels like a deadliest cursed to me.
Seharusnya aku belajar banyak dari pengalaman cintaku dengan Jay. Padahal sudah lebih dari setahun yang lalu aku putus dengan Jay. Kenapa aku tak pernah kapok dan belajar lebih sabar mengenali apa yang benar-benar aku rasakan. Ah sudahlah….! Toh belum tentu aku akan bertemu Pey lagi. Kali ini aku sudah capek mengejar. Lagi pula untuk apa aku mengejar cinta. Paling-paling akhirnya aku juga yang jatuh dan kesakitan lagi. Lupakan saja.
Pagelaran tari selesai. Semua senang. Semua puas. Apauw layak membusungkan dada dengan proyek yang terbilang sukses. Dan aku bisa kembali dengan cat, kuas dan kanvas. Aku buka jendela lebar-lebar membiaran udara bebas keluar masuk semaunya. Kanvas masih kosong. Sekosong isi kepalaku. Lima menit berlalu. Masih kosong. Setengah jam. Sama, kosong. Satu jam. Tetap kosong. Aku pun berdiri. Membuka lemari kaca. Mengambil kamera digital. Kamera digital biasa bukan seperti milik para forografer hebat itu yang bentuknya serba berat dan kotak-kotak. Kameraku benar-benar kamera pocket yang tipis dan berwarna merah. Aku menggunakannya hanya sekedar untuk iseng jeprat-jepret sambil jalan-jalan kalau isi kepala sedang mentok seperti sekarang.
Setelah berganti pakaian dan memutuskan untuk pergi ke kafe pinggir jalan yang sederhana dekat balai kebudayaan di tengah kota. Aku pun pergi dengan kamera di tas tanganku. Sesampainya di sana sudah ada Rani, Bowo dan Tiar. Mereka teman-teman ngobrolku kalau sedang suntuk. Kamera tak jadi kugunakan. Aku habiskan waktu mengobrol sana-sini.
Triditdit! Trididit! Hapeku tiba-tiba berbunyi.
“Suara hape kamu koq kayak alarm sih?” Rani protes.
Aku hanya nyengir dan langsung menjawab telepon.
“Ya, halo?”
“Halo. Teh, lagi ngapain?” tanya suara itu.
“Hm… Ini siapa ya?” Aku tak suka mengatakan apa yang sedang kulakukan pada orang yang tak ku kenal.
“Ini Pey. Ngeganggu ya?”
Dug! Tiba-tiba ada satu hentakkan kuat di jantungku diikuti dengan degup-degup jantung yang sama kuatnya.
“Oh, enggak. Enggak ngeganggu koq. Pey lagi dimana?” tanyaku langsung sambil menjauh dari Rina, Bowo dan Tiar. Kenapa harus bertanya seperti itu. Ah… wabah tolol itu.
“Aku ada di seberang jalan.”
“Hah..!” Aku langsung mendongak dan melihatnya melambaikan tangan diseberang sana. Aku balas melambai.
“Sendirian?” tanyaku lagi.
“Iya, abis nyari CD blank,” katanya sembari tengok kiri kanan mau menyeberang.
“Oh..,”kataku.
“Ga ngeganggukan?” tanyanya lagi.
“Oh, enggak. Ikut gabung aja sama kita,” ajakku.
Telepon ditutup. Pey sudah menyeberang dan berjalan menghampiriku.
“Koq bisa tau nomor telepon teteh?” tanyaku setelah Pey berada cukup dekat.
“Dari Apauw,” jawabnya singkat.
Aku kenalkan Pey pada yang lain. Kami pun mengobrol tapi tak lama Tiar pamit pulang. Kemudian Rani pun pamit dan disusul Bowo selang lima belas menit kemudian. Tinggal aku dan Pey. Anehnya ketika temanku satu per satu sudah menghilang, aku dan Pey malah saling diam. Terus diam, hingga diam dirasa menjadi tak wajar. Pulang pun aku masih belum mau. Aku mulai sibuk mencari-cari bahan obrolan.
“Aneh ya.” Sekonyong-konyong Pey berkata demikian.
“Aneh?” aku heran.
“Iya. Kita. Aneh.” Kata-katanya semakin tak kumengerti tapi ada sesuatu yang membuatku menahan nafas pelan-pelan.
“Maksudnya?” aku kembali bertanya.
Pey menghela nafas seolah penjelasan kata aneh mengandung beban seberat berjuta ton.
“Kita kayak lagi maen kucing-kucingan,” katanya lagi, membuatku semakin bingung.
“Kucing-kucingan?” aku menatapnya penuh tanya. Dan…di dalam sana ada sedikit harapan yang kembali menyembul. Wabah sialan!
“Dulu waktu pertama kali kenal teteh, aku seneng ngeliat ada perempuan yang gesit dan sabar ngurusin anak-anak band.” Pejelasan yang cukup membuatku resmi wajib menahan apapun yang menyebabkan hatiku melambung-lambung tak jelas.
“Aku sempet khawatir juga sih,” lanjutnya.
“Kenapa khawatir?” tanyaku dengan tololnya. Ah….wabah sialan ini.
“Ya.., khawatir kalo teteh harus pulang malem-malem sendirian.”
“Ah, kan udah biasa. Lagian bisa pake taksi,” jawabku seringan mungkin.
“Ya, aku sih tetep aja khawatir. Tapi untungnya setiap khawatir itu muncul selalu ada cowok yang nemenin teteh pulang.” Aku teringat Pey tidak hanya kenal Jay saja tapi ia juga kenal Fian temannya pemain drum di band yang berbeda dan seumuran denganku yang juga sempat jadi pacarku. Aku diam tak tahu harus bilang apa. Tepatnya aku malu juga karena pasti aku terlihat sering ganti-ganti pacar.
“Sekarang teteh pulang sama siapa?” tanyanya tiba-tiba memecah diam yang tercipta karena sepertinya Pey pun tak tahu harus bicara apa lagi setelah menceritakan tentang kekhawatirannya terhadapku.
“Ya..seperti biasa. Sendirian,” jawabku datar.
“Kalo gitu boleh aku sekarang ngaterin teteh pulang setiap kali teteh pulang kemaleman atau kapanpun teteh pengen dianter?”
Pertanyaan aneh. Aku tak sepenuhnya bisa mencerna maksud pertanyaannya. Aku menoleh ke arahnya. Dan….aku terkejut melihat sorot mata pengharapan yang sudah tak lagi ditutup-tutupi. Aku palingkan wajahku. Takut si wabah sialan kembali meracuni setiap molekul hatiku.
“Sebenernya yang aku khawatirin bukan cuma kalo teteh pulang kemaleman tapi juga khawatir teteh disakitin. Emm… emang sih bukan hakku buat nge-judge¬ mereka bikin teteh sakit hati atau enggak karena teteh yang paling tau apa yang teteh rasain,” katanya lagi lalu diam seolah memberi ruang bagiku untuk menyangkal dalam hati bahwa aku justru tidak pernah tahu apa yang aku rasakan.
“Makanya aku pengen jadi orang yang bisa ngejagain teteh. Sampai kapanpun,” katanya dengan penegasan pada dua kata terakhir. Aku menoleh ke arahnya dan kembali menemukan sorot mata itu. Sorot mata yang membuatku kembali memalingkan wajah dan tak tahu harus bersikap bagaimana.
“Sebenernya dari dulu aku udah pengen bicara seperti ini sama teteh tapi ya itu tadi, aku ngerasa kita kayak maen kucing-kucingan. Setiap kali kesempatan dateng untuk bicara atau paling enggak bisa deket, tau-tau selalu ada cowok laen yang udah ngeduluin,” katanya lagi sambil sedikit menahan tawa miris.
“Sekarang, aku ga mau kehilangan kesempatan lagi. Makanya aku sekarang jujur sama teteh. Jujur kalo dari dulu aku suka sama teteh. Boleh dibilang cinta tapi kayaknya norak kalo bilang ‘aku cinta teteh’,” katanya sambil tertawa kecil. Aku kini menatapnya sungguh-sungguh mencari sesuatu dari sorot matanya yang bisa aku jadikan pegangan kalo dia benar-benar berkata jujur. Ada seulas rona merah diwajahnya yang membuatnya terlihat lucu tapi terkesan fresh.
“Hhhh…..aku udah latihan bertahun-tahun untuk milih kata-kata yang tepat, yang pas tapi ga norak kayak sinetron,” lanjutnya sambil menahan tawa. Sekarang gantian Pey yang tidak berani menatapku.
“Akhirnya bisa juga aku ngomong kayak gini sama teteh. Lega rasanya.” Wajahnya terlihat tidak setegang sebelumnya. Pasti lega sekali rasanya mengeluarkan gumpalan perasaan yang terus dipendam bertahun-tahun. Aku tersenyum melihatnya. Tapi aku tetap tak tahu harus berkata apa. Aku diam kembali, lalu menundukkan kepala. Mencoba menyelami perasaanku sendiri. Menyelami gaduhnya hati impulsifku. Cintakah? Sejati atau sesaat? Benar-benar tuluskah orang yang bernama Ferdian ini? Apa hatiku kali ini tidak akan apa-apa? Aku terus bertanya dan bertanya pada hatiku sendiri. Jawabannya selalu ya, ini cinta, cinta, cinta, cinta. Tapi entah kenapa kini logikaku merasionalkan segalanya dengan sabar, sabar, sabar, take your time, don’t rush in, cinta butuh waktu ‘tuk merasakannya.
Aku angkat kepalaku. Sekilas aku melihat tangan Pey yang urung meraih tanganku. Ia tersenyum tulus. Aku pun tersenyum.
“Teteh jangan kebebanin sama apa yang aku omongin ya. Aku cuma pengen jujur aja. Teteh ga jawab atau teteh nolak juga enggak apa-apa. Aku sama sekali enggak mau maksa, aku cuma pengen jujur aja,” katanya begitu melihat aku hanya tersenyum tanpa sepatah katapun yang keluar dari mulutku.
“Pey…,” kataku pelan. Sepertinya diamku yang cukup lama membuat pita suaraku harus bekerja keras untuk mengeluarkan suara. Pey menatapku dalam-dalam membuat dadaku sedikit sesak.
“Aku ga tau harus bilang apa. Yang pasti ga akan ada orang yang ga seneng dengerin kejujuran seperti itu.” Sekuat tenaga aku berusaha untuk mengatur nada suaraku. Raut wajah Pey berubah sendu seperti dulu ketika Pey melihatku membalas senyuman Jay.
“Aku juga harus jujur,” lanjutku.
“Jujur aja perasaan itu mungkin ada, dari kapannya aku ga tau pasti tapi ada,” kataku melanjutkan penjelasan yang terputus. Pey tetap diam, ia menyimak setiap kata yang terlontar dari mulutku.
“Sebenernya sekarang aku lagi takut sama apa yang aku rasain. Bener kata kamu yang dulu-dulu itu emang bikin sakit hati. Dan aku juga ga mau sakit hati lagi.” Aku melanjutkan ucapanku sambil terus menatapnya, berharap ia tak salah mengerti.
“Mungkin dulu aku jadi patah hati karena salahku sendiri. Sering kali salah menilai perasaan sendiri dan terlalu terhanyut dengan perasaan itu. Jujur aja aku salut sama kamu yang bisa mantap dengan perasaan kamu. Pey, aku ga sepintar kamu soal urusan perasaan seperti ini.” Aku terus menatapnya berusaha meyakinkannya bahwa ini bukan penolakan. Pey meraih tanganku, menggenggamnya dan tersenyum.
“Kamu mau kan bersabar?” tanyaku perlahan, nyaris berbisik. Pey menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. Aku sadar telah mengajukan pertanyaan egois. Memintanya bersabar setelah sekian tahun ia pendam perasaan itu dengan kesabaran luar biasa.
“Aku ga mau kejebak dengan istilah pacaran. Status pacaran sering kali ngebuat aku menuntut terlalu banyak dan membuat hal yang belum layak jadi dianggap wajar karena status pacar. Ngebuat aku makin buta buat menilai orang yang akhirnya sering kali bikin aku kecewa dan patah hati. Padahal yang aku pengen adalah orang yang bisa jadi teman buat ngabisin seluruh sisa hidupku dan kamu pasti tau nyari teman seperti itu ga gampang. Aku udah capek pacaran, Pey. Tapi aku ga mau juga kalo harus ngabisin sisa hidupku tanpa ada orang yang paling berarti di sisiku. Aku butuh waktu untuk tau perasaanku sendiri dan untuk benar-benar kenal kamu. Untuk benar-benar yakin. Kamu ngertikan?” tanyaku setelah penjelasan panjang lebar karena takut Pey salah tanggap.
“Aku ngerti. Ngerti banget,” jawabnya sambil tersenyum, “Ga jadi masalah seberapa lama waktu yang teteh butuhin untuk bisa yakin, aku tetep bisa sabar.” Aku tersenyum lega. Mendadak kata ‘teteh’ dirasa tak pantas diucapkan oleh Pey untukku. Ia terlihat dewasa melebihi umurnya.
“Makasih, Pey…” kataku tulus.
“Berarti ga masalah kan kalo aku anter teteh pulang?” tanyanya ringan.
Aku tersenyum. “Enggak. Tapi jangan panggil aku ‘teteh’ lagi dong,” protesku.
“Hm…kalo soal itu kayaknya teteh harus sabar, mau gimana pun lebih enak kalo manggil teteh,” katanya sambil tertawa. Sialan, pandai bercanda juga anak ini. Jariku pun menjentik pelan dahinya seraya berkata, “Dasar!”
Pey pun terus tertawa. Dan semua terasa lebih ringan. Dan hatiku yang impulsif berhasil melewati satu fase kedewasaannya.
“Dah malem. Aku anter teteh pulang sekarang?” katanya setelah menguasai tawanya dan meneguk sisa terakhir kopi dari cangkirnya. Aku mengangguk. Kami pun berdiri dan berjalan berdampingan. Entah kenapa badannya yang hanya beberapa senti lebih tinggi dariku terasa berdiri menjulang disampingku sepertinya siap untuk selalu berada disisiku, menjagaku seperti yang dikatakannya. Logikaku kembali menasehati. Cinta tak harus dicari, butuh waktu tuk merasakannya. Karena cinta seharusnya menjadi surga dunia.*
Savitri, September 2006
* Lirik lagu ‘Surga Dunia’- Topaz.