Thursday, November 02, 2006

That Kiss

Sudah tiga bulan terakhir ini handphone-nya sering berteriak-teriak keras. ‘OOOMMM GIAAAN!!!!! ADA ES-EM-ES!!!! ADA ES-EM-ES!!!!’ Suara teriakan dua keponakan kembarnya yg sengaja ia jadikan suara message alert di-handphone-nya. Dua sahabatnya, Mahdi dan Luhut, sudah berkali-kali dibuat kaget oleh suara nyaring itu. Sering kali mereka protes.
“Hape lu di-silent aja napa?!!”
“Alamak!!! Gantilah suara keponakanmu itu dengan suara yang lebih halus.”
“Giaaan!!! Matiin hape lu!!!!”
“Woiy!!! Berisik!!!!”
Tapi Gian cuek saja. Suara itu baginya menandakan bahwa sedang ada ‘perburuan’ yang berlangsung. Dan untuk sementara waktu suara nyaring itu tak akan ada karena ‘sang pengirim sms’ tersebut sedang berada disampingnya. Dalam dekapannya.
Untuk kesekian kalinya, nick-name YM-nya telah berhasil menarik perhatian seseorang. Seorang perempuan tentunya. Kali ini namanya Lea. Pertemuan ini dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Gian. Untuk langkah awal ia harus menganalisa terlebih dulu ‘buruan’-nya. Apakah ‘buruan’-nya cukup layak untuk di-‘mangsa’ atau untuk menentukan strategi apa yang harus pakai agar ia bisa mendapatkan apa yang ia inginkan. Ya….apalagi kalau bukan one night stand. Perlu dicatat, dalam kamus seorang Gian tertulis kalimat dengan huruf tebal dan bergaris bawah. Kalimat itu berbunyi, Perempuan itu surga dunia dan hidup hanya sekali, jadi nikmatilah sepuasnya!!!
Dan sekarang seorang perempuan putih, mungil, dan manis yang berada dalam dekapannya ini juga adalah ‘surga dunia’ dan kesempatan untuk menikmatinya sedang terbuka lebar. Entah untuk keberapa kalinya strateginya berhasil lagi. Kini tinggal satu langkah lagi yang jadi penentu apakah ia akan bisa terus maju atau harus sedikit lebih bersabar.
“Lea, boleh minta sesuatu ga?” tanyanya hati-hati.
“Apa?” Lea balik bertanya.
“A kiss..,” ucapnya pelan. Ada jeda waktu yang membuat Gian cukup tegang menunggu jawaban Lea.
“Boleh,” jawab Lea. Gian cukup terkejut, ternyata semudah ini.
“Tapi matanya merem dulu dong…!” pinta Lea manja. Gian pun menurut saja tanpa protes. Lalu….

Hembusan nafas lembut Lea terasa dikelopak mata dan keningnya. Tercium wangi aroma bedak bayi dari tubuh Lea, spotan Gian menarik nafas dalam-dalam. Tak lama sebuah ciuman lembut perlahan terasa di kelopak matanya. Tak disangka bibir mungil itu mendarat dikelopak matanya. Bibir Lea terasa lembut dan sedikit bergetar. Cukup lama ia merasakan sensasi unik itu. Dan….
Entah kenapa saat itu ada sesuatu yang tak biasa menguasai relung batinnya. Dirasakannya waktu seperti berhenti. Persis mirip salah satu adegan film Matrix seolah kamera berputar 360 derajat untuk menangkap adegan still frame. Lalu kamera dengan cepat beralih fokus. Dan seperti layaknya kamera infra merah, sorotan kamera itu menembus tubuhnya dan menyoroti jantungnya yang berdegup kencang tak menentu.

Entah kenapa ciuman itu….. membuatnya merasa….. entahlah apa yang sebenarnya ia rasakan. Hanya saja ia tahu benar jantungnya berdegup makin kencang.
Lea menyudahi ciuman itu dengan membenamkan wajah Gian dalam pelukannya. Gian dibuatnya terpaku. Sibuk dengan degupan jantungnya dan perasaan halus yang perlahan namun pasti menjalarkan kehangatan ke dalam setiap seluk beluk hatinya yang dingin.

Kemudian Lea melepaskan pelukkannya lalu menatap mata Gian dalam-dalam dan berkata, “Lea ga tahu udah berapa perempuan yang pernah nyium Gian di bibir, tapi Lea berharap belum pernah ada satu perempuan pun yang nyium Gian disini.” Telunjuk Lea menyentuh lembut kelopak mata Gian sambil tersenyum tulus. Ketika telunjuk halus itu menyentuh bagian atas kelopak matanya, otomatis Gian memejamkan mata.
Kata-kata Lea meluncur begitu lembut dan polos dari bibirnya yang mungil. Ucapan itu terdengar seperti mantra baginya. Membuatnya makin mematung. Membuatnya mampu menahan segala macam gejolak yang berusaha menerobos dinding batinnya. Membuat dinding batin itu berdiri semakin kokoh dan melelehkan kalimat dalam kamusnya yang tercetak tebal dan bergaris bawah. Kalimat itu kini layaknya coretan kotor didinding yang sudah dihapus bersih.
Lea kembali mendekap Gian lalu sambil setengah berbisik di telinga Gian, ”Lea pengen Gian ga pernah lupa sama ciuman yang tadi. Lea pengen ciuman itu yang selalu ngebuat Gian pengen terus ketemu Lea dan terus pengen balik lagi ke Bandung.” Terasa Lea memeluk tubuhnya lebih erat. Wajah Lea bersentuhan dengan kulit lehernya. Lalu perlahan dirasakannya Lea menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya pelan. Sejenak Gian merasa ada sebuah beban yang telah terangkat dalam benak perempuan mungil ini. Kini ia mengerti, sedari tadi Lea menyembunyikan rasa takutnya. Begitu polosnya perempuan yang kini sedang memeluknya erat. Begitu lembut yang ia rasakan dalam hatinya. Nyaris saja ia merusak malaikat yang putih bersih ini.
She’s too precious to be a one night stand, urunglah sudah segala niatan dan rencana yang sudah disusunnya dengan apik sebelum pergi ke Bandung.

Hari ini, beberapa kali terlihat Gian melamun. Tanpa disadarinya kedua tangannya seolah berhenti mendapat perintah dari otaknya. Tatapan matanya menatap lurus-lurus ke layar komputer tapi sorot matanya seperti komputer yang nge-hang karena terlalu banyak menerima perintah untuk saling berebut tampil lebih dulu dilayar monitor.

Aaaahhhh…..!!! Sialan lu, Lea!!!! Lu hebat!!! Lu emang bener-bener bisa bikin gue pengen ke Bandung terus. Lea…! Lea…! Lea…!

Inilah yang membuat processor di kepala Gian berjalan amat sangat berat dan lambat. Lea. Hanya memikirkan satu gadis itu saja tampaknya sudah menghabiskan cukup banyak porsi processor dikepalanya. Ia tak menyadari perintah untuk kedua tangannya terhambat cukup lama untuk sampai ketujuannya hingga tangannya berhenti bergerak dan tidak segera meng-klik icon print.

“Oiy!!! Yan, lu ngapain disitu! Lagi be’telor! Mana design-nya? Buruan ntar Pak Sudir kelamaan nunggu.” Mahdi berteriak tak sabar dari ruangan sebelah. Gian tersadar dari lamunannya. Seolah teriakan Mahdi membuat ‘program Think about Lea’ menjadi not responding dan dengan terpaksa ia harus meng-klik tombol end task dalam kepalanya dan akhirnya seluruh jalur informasi berjalan amat lancar dari otak ke tangan kanannya. Lalu ia pun meng-klik icon print dengan kesadaran penuh.

Tak lama Gian pun keluar sambil membawa 2 map besar ditangan kanannya bersama surat penawaran yang baru saja di-print.
“Ini gambarnya, yang mulia Mahdi yang agung.” Diserahkan kedua map dan surat itu kepada Mahdi dengan wajah kesal yang dibuat-buat.
“Nah, gitu dong..! Lama amat sih! Emang lu dari tadi ngapain aja sih?”
“Ya, ga ngapa2-in. Cuma bikin surat penawaran aja.”
“Surat penawaran apa, surat cinta buat si Lea…,” Mahdi memulai serangan pertama. ‘Pertempuran’ ini sudah berlangsung sejak seminggu yang lalu. Sejak Gian mendapatkan ciuman yang tak diijinkan Lea untuk dilupakan. Mahdi sudah merasakan ada yang berbeda dengan ‘perburuan’ Gian kali ini.
“Siapa yang buat surat cinta? Kau, Yan? Alamak….seperti apa sih buruan kau kali ini sampai kau rela membuat surat cinta untuk dia.” Luhut ikut ambil bagian.
“Tampaknya kali ini Don Juan kita mulai kena batunya ya…? ” lanjutnya sambil mendongakkan kepala ke arah Mahdi.
“Sialan lu pada! Dah ah, gue mau keluar dulu. Asem nih mulut, kayaknya gue perlu cari asep dulu.” Gian berniat cepat-cepat menyingkir. Otaknya menangkap sinyal bahwa ia harus cepat-cepat menghilang dari ruangan itu sebelum ia dihantam habis-habisan oleh olok-olokkan dua sahabatnya.
“Cari asep apa cari inspirasi?” Mahdi melancarkan serangan keduanya sebelum Gian sempat melangkah pergi.
“Inspirasi cinta untuk neng geulis.” Luhut menambahkan sambil kedua tangannya terangkat keatas layaknya orang sedang membaca puisi. Melihat kelakuan Luhut, Mahdi tertawa terpingkal-pingkal. Gian hanya mengeleng-gelengkan kepala sambil menahan tawa.
“Emang susah ngomong ma kalian berdua. Gue keluar dulu bentar.” Gian langsung berlalu menghindari serangan selanjutnya.
“Yee… segitunya.” Mahdi setengah merajuk tapi sama sekali tidak digubris. Gian tetap menjauh dan keluar dari ruangan menuju lift.

Sekilas terdengar Luhut berkata, “Orang yang sedang jatuh cinta biasanya jadi sensitif….” Lalu entah apa lagi yang diucapkan Luhut selanjutnya yang ia dengar setelah itu hanya suara tawa terbahak-bahak sambil sesekali diselingi suara salah satu dari sahabatnya menyebut-nyebut namanya disela tawa mereka yang terpingkal-pingkal.
Cinta, hm…jadi gini rasanya cinta….

Dalam lift Gian menekan tombol dengan angka paling besar. Dan tak perlu makan waktu lama kini ia sudah berada di roof top. Tempat paling sempurna untuk menghisap sebatang rokok. Asapnya dengan bebas akan segera tertiup angin menambah sepersekian persen tingkat polusi udara Jakarta. Sepersekian persen udara kotor yang mungkin juga akan terbawa angin dan sampai ke Bandung lalu dihisap oleh Lea yang putih bersih dan mungil. Memikirkan itu tiba-tiba saja Gian menjatuhkan rokok yang baru saja dihisapnya dua kali lalu menggilasnya dengan kaki hingga rokok itu tak berbentuk. Ia terkejut dengan sikapnya sendiri dan menatap rokok yang hancur lebur itu seperti benda berharga yang sudah kadaluarsa masa pakainya.

Shit! Cuma kayak gitu doang udah bisa bikin gue pengen berenti ngerokok. Lea…Lea… lu tuh mahluk apaan sih sampe bisa bikin gue berasa nista sekaligus hebat….

Tolong diperhatikan, Gian merasa nista karena setelah pertemuan itu ia mengulang berkali-kali setiap adegan dan kata-kata yang diucapkan Lea. Dan berdasarkan hasil analisanya, ia merasa sepertinya Lea cukup sadar dengan setiap langkah dan strategi yang dilancarkannya sekaligus kearah mana semua itu dimaksudkan. Ini benar-benar membuatnya malu dan merasa menjadi manusia paling nista dihadapan Lea.
Tapi kenyataan bahwa Lea tidak menolaknya mentah-mentah dan malah mengikuti setiap langkah yang ia jalankan tanpa ragu telah membuatnya merasa menjadi laki-laki hebat. Bahkan terselip sebuah pengakuan sekaligus rasa bersyukur dihatinya bahwa ternyata dibalik kebrengsekannya sebagai laki-laki masih ada yang mau menghargai sisi terbaiknya. Rasanya saat ini, jika perlu ia sanggup menghentikan kegiatan seluruh umat manusia di bumi ini jika itu mengganggung seorang gadis bernama lengkap namun singkat Malea.
Hm…cinta dalam hati seorang Gian bisa begitu hebat sampai ia merasa sanggup menghentikan kegiatan semua umat manusia di dunia. Tak terbayang apa yang bakalan dilakukannya kalau cinta itu dirampas, diinjek, dibakar, digesek sampai lecek. Jangan-jangan seluruh dunia bisa dibakar habis. Serem juga ya….well, it’s not gonna happen in this story.

Di atas sini tak ada suara selain suara angin yang berdesing halus. Ada sedikit ketenangan yang mampu membuat Gian kembali hanyut dalam lamunannya. Program Think about Lea kembali bekerja dalam otaknya. Masih teringat jelas aroma bedak bayi saat itu. Wajah putih bersih yang polos serta aroma bedak itu membuat Lea tampak seperti malaikat mungil yang amat penyayang. Ada rasa sakit didadanya. Bukan sakit hati tapi sakit yang menyesakkan. Rasa kosong tapi menyesakkan dada hingga rasanya agak sulit bernafas. Padahal sudah berkali-kali ia coba menarik nafas dalam lalu menghembuskannya sama sekali tak ada tanda-tanda ia terserang sesak nafas. Terbukti dengan pasti bahwa ia masih dapat bernafas dengan baik tanpa tersenggal-senggal. Namun rasa kosong yang menyesakkan itu masih saja bercokol didadanya. Sama sekali tak ada tanda-tanda akan segera menghilang. Malah mungkin rasa itu akan bersemayam cukup lama disana.

OOOMMM GIAAAN!!!!! ADA ES-EM-ES!!!! ADA ES-EM-ES!!!!

Tiba-tiba saja handphone-nya berteriak keras. Kali ini ia dapat merasakan kaget yang sama seperti yang dirasakan dua sahabatnya itu belakangan ini. Tapi mungkin Mahdi dan Luhut harus semakin tabah dikagetkan dengan teriakkan itu karena sejak Lea tertawa renyah menggemaskan menanggapi suara sms masuk ke handphone-nya itu Gian makin bersikukuh untuk tidak mengganti teriakan keponakan kembarnya dengan apapun. Ia akan pertahankan hal sekecil apapun yang disukai Lea.

Ck, ck, ck…..cinta oh cinta….!

Pasti sms dari Lea. Tebakan yang tepat. Dan seperti biasanya sms Lea selalu diawali dengan empat huruf G, I, A, dan N yang diakhiri dengan lima atau empat titik yang menandakan bahwa pengirim sms itu sedang mengucapkan namanya dengan lembut. Ia tersenyum melihat rentetan huruf ritual singkat dalam sms itu. Senang rasanya setiap kali membayangkan namanya diucapkan dengan lembut dari bibir mungil Lea yang sama sekali belum pernah disentuhnya.
Rasa kosong yang menyesak itu sedikit berkurang. Ada rasa rindu yang lumayan terobati.

Gian….
Dah makan lom?
jgn lupa makan ya…
jgn lupa solatnya juga….

Solat. Perempuan mungil ini mengingatkannya untuk solat. Satu hal yang rasanya sudah lama sekali tidak ia lakukan. Perasaan menjadi manusia nista kembali muncul. Tapi anehnya perasaan itu selalu muncul dengan perasaan menjadi laki-laki paling hebat. Begitu hebat hingga sanggup membuat seorang malaikat seperti Malea sudi memberikan perhatian khusus padanya.
Ia pun mulai membalas sms Lea

Makasih ya sayang
dah ngingetin,
aq mo mkan skr
trus tar solat

Send
Message sent

Setelah pesan terkirim lalu ia kembali ke dalam. Dan begitu keluar dari lift handphone-nya berteriak lagi. Kali ini seorang perempuan yang kebetulan lewat terkejut. Tumpukan map ditangannya nyaris saja jatuh kalau temannya kurang sigap menahan tumpukan map-map itu.

Hm…sms balasan dari Lea.


Nanti kalo solat doa’in Lea ya…
Love you…

Ia berdo’a untuk seorang perempuan dalam solat. Belum pernah sekalipun ia lakukan itu. Malaikat mungil satu ini selalu saja membuat kejutan manis dalam setiap tingkah lakunya.

Baiklah kalau begitu, lebih baik solat dulu baru makan.

“Hei, Romeo! Mau kemana kau?” Luhut melihat Gian yang tak jadi masuk ke ruangan, muncul dari pintu kaca.
“Solat,” jawabnya singkat.
“Solat?!” Mahdi yang mendengar jawaban Gian mendadak bangkit dari duduknya lalu mendekati mereka berdua.
“Kau muslim?” tanya Luhut.
“Lho, emang gue muslim, masa lu ga tau,” jawab Gian.
“Aku kira kau sama seperti aku. Soalnya aku tak pernah lihat kau solat,” jelas Luhut.
“Eh, Yan. Lu kena virus apa sampe mau solat segala? Tumben-tumbenan nih!” Mahdi yang sudah berteman dengan Gian sejak masih kuliah belum pernah sekali pun melihat Gian solat meskipun ia yakin sahabatnya itu sama Islam-nya dengan dia.
“Kena virus Lea,” jawab Gian jujur sambil langsung melengos pergi. Seperti biasa menghindari serangan-serangan jitu kedua sahabatnya.
“Virus Lea….?” Tanya Luhut sambil menatap penuh tanya ke arah Mahdi setelah Gian pergi.
“Si pemburu balik diburu. Sekarang Don Juan kita sudah insaf. Hebat juga yang namanya Lea itu. Jadi penasaran juga gue gimana tampangnya,” jelas Mahdi.
Luhut pun mengerti.
“Wah…aku juga ingin kena virus semacam itu tapi aku tak mau sampai jadi Romeo setengah sinting seperti Gian,” kata Luhut. Mahdi tertawa mendengar ucapan sahabatnya ini.
Romeo setengah sinting, julukan baru Gian. Bukan Don juan lagi. Hanya dengan satu ciuman itu. Ciuman di kelopak mata yang katanya menandakan ketulusan hati. Mungkin ketulusan Lea terbaca oleh hati Gian hingga menyentuh the best part dalam diri Gian dan membuatnya sanggup menjadi lebih baik.
That kiss….that only one particular kiss…

Ck, ck, ck, ck….! Cinta….oh cinta….
It does can change everything, even the hardest part you can imagine…..

Materi lama yang baru sempet di-‘explore’ sampe beres
Savitri Agnesia M.
November 2006

Read More..