Thursday, November 02, 2006

That Kiss

Sudah tiga bulan terakhir ini handphone-nya sering berteriak-teriak keras. ‘OOOMMM GIAAAN!!!!! ADA ES-EM-ES!!!! ADA ES-EM-ES!!!!’ Suara teriakan dua keponakan kembarnya yg sengaja ia jadikan suara message alert di-handphone-nya. Dua sahabatnya, Mahdi dan Luhut, sudah berkali-kali dibuat kaget oleh suara nyaring itu. Sering kali mereka protes.
“Hape lu di-silent aja napa?!!”
“Alamak!!! Gantilah suara keponakanmu itu dengan suara yang lebih halus.”
“Giaaan!!! Matiin hape lu!!!!”
“Woiy!!! Berisik!!!!”
Tapi Gian cuek saja. Suara itu baginya menandakan bahwa sedang ada ‘perburuan’ yang berlangsung. Dan untuk sementara waktu suara nyaring itu tak akan ada karena ‘sang pengirim sms’ tersebut sedang berada disampingnya. Dalam dekapannya.
Untuk kesekian kalinya, nick-name YM-nya telah berhasil menarik perhatian seseorang. Seorang perempuan tentunya. Kali ini namanya Lea. Pertemuan ini dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Gian. Untuk langkah awal ia harus menganalisa terlebih dulu ‘buruan’-nya. Apakah ‘buruan’-nya cukup layak untuk di-‘mangsa’ atau untuk menentukan strategi apa yang harus pakai agar ia bisa mendapatkan apa yang ia inginkan. Ya….apalagi kalau bukan one night stand. Perlu dicatat, dalam kamus seorang Gian tertulis kalimat dengan huruf tebal dan bergaris bawah. Kalimat itu berbunyi, Perempuan itu surga dunia dan hidup hanya sekali, jadi nikmatilah sepuasnya!!!
Dan sekarang seorang perempuan putih, mungil, dan manis yang berada dalam dekapannya ini juga adalah ‘surga dunia’ dan kesempatan untuk menikmatinya sedang terbuka lebar. Entah untuk keberapa kalinya strateginya berhasil lagi. Kini tinggal satu langkah lagi yang jadi penentu apakah ia akan bisa terus maju atau harus sedikit lebih bersabar.
“Lea, boleh minta sesuatu ga?” tanyanya hati-hati.
“Apa?” Lea balik bertanya.
“A kiss..,” ucapnya pelan. Ada jeda waktu yang membuat Gian cukup tegang menunggu jawaban Lea.
“Boleh,” jawab Lea. Gian cukup terkejut, ternyata semudah ini.
“Tapi matanya merem dulu dong…!” pinta Lea manja. Gian pun menurut saja tanpa protes. Lalu….

Hembusan nafas lembut Lea terasa dikelopak mata dan keningnya. Tercium wangi aroma bedak bayi dari tubuh Lea, spotan Gian menarik nafas dalam-dalam. Tak lama sebuah ciuman lembut perlahan terasa di kelopak matanya. Tak disangka bibir mungil itu mendarat dikelopak matanya. Bibir Lea terasa lembut dan sedikit bergetar. Cukup lama ia merasakan sensasi unik itu. Dan….
Entah kenapa saat itu ada sesuatu yang tak biasa menguasai relung batinnya. Dirasakannya waktu seperti berhenti. Persis mirip salah satu adegan film Matrix seolah kamera berputar 360 derajat untuk menangkap adegan still frame. Lalu kamera dengan cepat beralih fokus. Dan seperti layaknya kamera infra merah, sorotan kamera itu menembus tubuhnya dan menyoroti jantungnya yang berdegup kencang tak menentu.

Entah kenapa ciuman itu….. membuatnya merasa….. entahlah apa yang sebenarnya ia rasakan. Hanya saja ia tahu benar jantungnya berdegup makin kencang.
Lea menyudahi ciuman itu dengan membenamkan wajah Gian dalam pelukannya. Gian dibuatnya terpaku. Sibuk dengan degupan jantungnya dan perasaan halus yang perlahan namun pasti menjalarkan kehangatan ke dalam setiap seluk beluk hatinya yang dingin.

Kemudian Lea melepaskan pelukkannya lalu menatap mata Gian dalam-dalam dan berkata, “Lea ga tahu udah berapa perempuan yang pernah nyium Gian di bibir, tapi Lea berharap belum pernah ada satu perempuan pun yang nyium Gian disini.” Telunjuk Lea menyentuh lembut kelopak mata Gian sambil tersenyum tulus. Ketika telunjuk halus itu menyentuh bagian atas kelopak matanya, otomatis Gian memejamkan mata.
Kata-kata Lea meluncur begitu lembut dan polos dari bibirnya yang mungil. Ucapan itu terdengar seperti mantra baginya. Membuatnya makin mematung. Membuatnya mampu menahan segala macam gejolak yang berusaha menerobos dinding batinnya. Membuat dinding batin itu berdiri semakin kokoh dan melelehkan kalimat dalam kamusnya yang tercetak tebal dan bergaris bawah. Kalimat itu kini layaknya coretan kotor didinding yang sudah dihapus bersih.
Lea kembali mendekap Gian lalu sambil setengah berbisik di telinga Gian, ”Lea pengen Gian ga pernah lupa sama ciuman yang tadi. Lea pengen ciuman itu yang selalu ngebuat Gian pengen terus ketemu Lea dan terus pengen balik lagi ke Bandung.” Terasa Lea memeluk tubuhnya lebih erat. Wajah Lea bersentuhan dengan kulit lehernya. Lalu perlahan dirasakannya Lea menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya pelan. Sejenak Gian merasa ada sebuah beban yang telah terangkat dalam benak perempuan mungil ini. Kini ia mengerti, sedari tadi Lea menyembunyikan rasa takutnya. Begitu polosnya perempuan yang kini sedang memeluknya erat. Begitu lembut yang ia rasakan dalam hatinya. Nyaris saja ia merusak malaikat yang putih bersih ini.
She’s too precious to be a one night stand, urunglah sudah segala niatan dan rencana yang sudah disusunnya dengan apik sebelum pergi ke Bandung.

Hari ini, beberapa kali terlihat Gian melamun. Tanpa disadarinya kedua tangannya seolah berhenti mendapat perintah dari otaknya. Tatapan matanya menatap lurus-lurus ke layar komputer tapi sorot matanya seperti komputer yang nge-hang karena terlalu banyak menerima perintah untuk saling berebut tampil lebih dulu dilayar monitor.

Aaaahhhh…..!!! Sialan lu, Lea!!!! Lu hebat!!! Lu emang bener-bener bisa bikin gue pengen ke Bandung terus. Lea…! Lea…! Lea…!

Inilah yang membuat processor di kepala Gian berjalan amat sangat berat dan lambat. Lea. Hanya memikirkan satu gadis itu saja tampaknya sudah menghabiskan cukup banyak porsi processor dikepalanya. Ia tak menyadari perintah untuk kedua tangannya terhambat cukup lama untuk sampai ketujuannya hingga tangannya berhenti bergerak dan tidak segera meng-klik icon print.

“Oiy!!! Yan, lu ngapain disitu! Lagi be’telor! Mana design-nya? Buruan ntar Pak Sudir kelamaan nunggu.” Mahdi berteriak tak sabar dari ruangan sebelah. Gian tersadar dari lamunannya. Seolah teriakan Mahdi membuat ‘program Think about Lea’ menjadi not responding dan dengan terpaksa ia harus meng-klik tombol end task dalam kepalanya dan akhirnya seluruh jalur informasi berjalan amat lancar dari otak ke tangan kanannya. Lalu ia pun meng-klik icon print dengan kesadaran penuh.

Tak lama Gian pun keluar sambil membawa 2 map besar ditangan kanannya bersama surat penawaran yang baru saja di-print.
“Ini gambarnya, yang mulia Mahdi yang agung.” Diserahkan kedua map dan surat itu kepada Mahdi dengan wajah kesal yang dibuat-buat.
“Nah, gitu dong..! Lama amat sih! Emang lu dari tadi ngapain aja sih?”
“Ya, ga ngapa2-in. Cuma bikin surat penawaran aja.”
“Surat penawaran apa, surat cinta buat si Lea…,” Mahdi memulai serangan pertama. ‘Pertempuran’ ini sudah berlangsung sejak seminggu yang lalu. Sejak Gian mendapatkan ciuman yang tak diijinkan Lea untuk dilupakan. Mahdi sudah merasakan ada yang berbeda dengan ‘perburuan’ Gian kali ini.
“Siapa yang buat surat cinta? Kau, Yan? Alamak….seperti apa sih buruan kau kali ini sampai kau rela membuat surat cinta untuk dia.” Luhut ikut ambil bagian.
“Tampaknya kali ini Don Juan kita mulai kena batunya ya…? ” lanjutnya sambil mendongakkan kepala ke arah Mahdi.
“Sialan lu pada! Dah ah, gue mau keluar dulu. Asem nih mulut, kayaknya gue perlu cari asep dulu.” Gian berniat cepat-cepat menyingkir. Otaknya menangkap sinyal bahwa ia harus cepat-cepat menghilang dari ruangan itu sebelum ia dihantam habis-habisan oleh olok-olokkan dua sahabatnya.
“Cari asep apa cari inspirasi?” Mahdi melancarkan serangan keduanya sebelum Gian sempat melangkah pergi.
“Inspirasi cinta untuk neng geulis.” Luhut menambahkan sambil kedua tangannya terangkat keatas layaknya orang sedang membaca puisi. Melihat kelakuan Luhut, Mahdi tertawa terpingkal-pingkal. Gian hanya mengeleng-gelengkan kepala sambil menahan tawa.
“Emang susah ngomong ma kalian berdua. Gue keluar dulu bentar.” Gian langsung berlalu menghindari serangan selanjutnya.
“Yee… segitunya.” Mahdi setengah merajuk tapi sama sekali tidak digubris. Gian tetap menjauh dan keluar dari ruangan menuju lift.

Sekilas terdengar Luhut berkata, “Orang yang sedang jatuh cinta biasanya jadi sensitif….” Lalu entah apa lagi yang diucapkan Luhut selanjutnya yang ia dengar setelah itu hanya suara tawa terbahak-bahak sambil sesekali diselingi suara salah satu dari sahabatnya menyebut-nyebut namanya disela tawa mereka yang terpingkal-pingkal.
Cinta, hm…jadi gini rasanya cinta….

Dalam lift Gian menekan tombol dengan angka paling besar. Dan tak perlu makan waktu lama kini ia sudah berada di roof top. Tempat paling sempurna untuk menghisap sebatang rokok. Asapnya dengan bebas akan segera tertiup angin menambah sepersekian persen tingkat polusi udara Jakarta. Sepersekian persen udara kotor yang mungkin juga akan terbawa angin dan sampai ke Bandung lalu dihisap oleh Lea yang putih bersih dan mungil. Memikirkan itu tiba-tiba saja Gian menjatuhkan rokok yang baru saja dihisapnya dua kali lalu menggilasnya dengan kaki hingga rokok itu tak berbentuk. Ia terkejut dengan sikapnya sendiri dan menatap rokok yang hancur lebur itu seperti benda berharga yang sudah kadaluarsa masa pakainya.

Shit! Cuma kayak gitu doang udah bisa bikin gue pengen berenti ngerokok. Lea…Lea… lu tuh mahluk apaan sih sampe bisa bikin gue berasa nista sekaligus hebat….

Tolong diperhatikan, Gian merasa nista karena setelah pertemuan itu ia mengulang berkali-kali setiap adegan dan kata-kata yang diucapkan Lea. Dan berdasarkan hasil analisanya, ia merasa sepertinya Lea cukup sadar dengan setiap langkah dan strategi yang dilancarkannya sekaligus kearah mana semua itu dimaksudkan. Ini benar-benar membuatnya malu dan merasa menjadi manusia paling nista dihadapan Lea.
Tapi kenyataan bahwa Lea tidak menolaknya mentah-mentah dan malah mengikuti setiap langkah yang ia jalankan tanpa ragu telah membuatnya merasa menjadi laki-laki hebat. Bahkan terselip sebuah pengakuan sekaligus rasa bersyukur dihatinya bahwa ternyata dibalik kebrengsekannya sebagai laki-laki masih ada yang mau menghargai sisi terbaiknya. Rasanya saat ini, jika perlu ia sanggup menghentikan kegiatan seluruh umat manusia di bumi ini jika itu mengganggung seorang gadis bernama lengkap namun singkat Malea.
Hm…cinta dalam hati seorang Gian bisa begitu hebat sampai ia merasa sanggup menghentikan kegiatan semua umat manusia di dunia. Tak terbayang apa yang bakalan dilakukannya kalau cinta itu dirampas, diinjek, dibakar, digesek sampai lecek. Jangan-jangan seluruh dunia bisa dibakar habis. Serem juga ya….well, it’s not gonna happen in this story.

Di atas sini tak ada suara selain suara angin yang berdesing halus. Ada sedikit ketenangan yang mampu membuat Gian kembali hanyut dalam lamunannya. Program Think about Lea kembali bekerja dalam otaknya. Masih teringat jelas aroma bedak bayi saat itu. Wajah putih bersih yang polos serta aroma bedak itu membuat Lea tampak seperti malaikat mungil yang amat penyayang. Ada rasa sakit didadanya. Bukan sakit hati tapi sakit yang menyesakkan. Rasa kosong tapi menyesakkan dada hingga rasanya agak sulit bernafas. Padahal sudah berkali-kali ia coba menarik nafas dalam lalu menghembuskannya sama sekali tak ada tanda-tanda ia terserang sesak nafas. Terbukti dengan pasti bahwa ia masih dapat bernafas dengan baik tanpa tersenggal-senggal. Namun rasa kosong yang menyesakkan itu masih saja bercokol didadanya. Sama sekali tak ada tanda-tanda akan segera menghilang. Malah mungkin rasa itu akan bersemayam cukup lama disana.

OOOMMM GIAAAN!!!!! ADA ES-EM-ES!!!! ADA ES-EM-ES!!!!

Tiba-tiba saja handphone-nya berteriak keras. Kali ini ia dapat merasakan kaget yang sama seperti yang dirasakan dua sahabatnya itu belakangan ini. Tapi mungkin Mahdi dan Luhut harus semakin tabah dikagetkan dengan teriakkan itu karena sejak Lea tertawa renyah menggemaskan menanggapi suara sms masuk ke handphone-nya itu Gian makin bersikukuh untuk tidak mengganti teriakan keponakan kembarnya dengan apapun. Ia akan pertahankan hal sekecil apapun yang disukai Lea.

Ck, ck, ck…..cinta oh cinta….!

Pasti sms dari Lea. Tebakan yang tepat. Dan seperti biasanya sms Lea selalu diawali dengan empat huruf G, I, A, dan N yang diakhiri dengan lima atau empat titik yang menandakan bahwa pengirim sms itu sedang mengucapkan namanya dengan lembut. Ia tersenyum melihat rentetan huruf ritual singkat dalam sms itu. Senang rasanya setiap kali membayangkan namanya diucapkan dengan lembut dari bibir mungil Lea yang sama sekali belum pernah disentuhnya.
Rasa kosong yang menyesak itu sedikit berkurang. Ada rasa rindu yang lumayan terobati.

Gian….
Dah makan lom?
jgn lupa makan ya…
jgn lupa solatnya juga….

Solat. Perempuan mungil ini mengingatkannya untuk solat. Satu hal yang rasanya sudah lama sekali tidak ia lakukan. Perasaan menjadi manusia nista kembali muncul. Tapi anehnya perasaan itu selalu muncul dengan perasaan menjadi laki-laki paling hebat. Begitu hebat hingga sanggup membuat seorang malaikat seperti Malea sudi memberikan perhatian khusus padanya.
Ia pun mulai membalas sms Lea

Makasih ya sayang
dah ngingetin,
aq mo mkan skr
trus tar solat

Send
Message sent

Setelah pesan terkirim lalu ia kembali ke dalam. Dan begitu keluar dari lift handphone-nya berteriak lagi. Kali ini seorang perempuan yang kebetulan lewat terkejut. Tumpukan map ditangannya nyaris saja jatuh kalau temannya kurang sigap menahan tumpukan map-map itu.

Hm…sms balasan dari Lea.


Nanti kalo solat doa’in Lea ya…
Love you…

Ia berdo’a untuk seorang perempuan dalam solat. Belum pernah sekalipun ia lakukan itu. Malaikat mungil satu ini selalu saja membuat kejutan manis dalam setiap tingkah lakunya.

Baiklah kalau begitu, lebih baik solat dulu baru makan.

“Hei, Romeo! Mau kemana kau?” Luhut melihat Gian yang tak jadi masuk ke ruangan, muncul dari pintu kaca.
“Solat,” jawabnya singkat.
“Solat?!” Mahdi yang mendengar jawaban Gian mendadak bangkit dari duduknya lalu mendekati mereka berdua.
“Kau muslim?” tanya Luhut.
“Lho, emang gue muslim, masa lu ga tau,” jawab Gian.
“Aku kira kau sama seperti aku. Soalnya aku tak pernah lihat kau solat,” jelas Luhut.
“Eh, Yan. Lu kena virus apa sampe mau solat segala? Tumben-tumbenan nih!” Mahdi yang sudah berteman dengan Gian sejak masih kuliah belum pernah sekali pun melihat Gian solat meskipun ia yakin sahabatnya itu sama Islam-nya dengan dia.
“Kena virus Lea,” jawab Gian jujur sambil langsung melengos pergi. Seperti biasa menghindari serangan-serangan jitu kedua sahabatnya.
“Virus Lea….?” Tanya Luhut sambil menatap penuh tanya ke arah Mahdi setelah Gian pergi.
“Si pemburu balik diburu. Sekarang Don Juan kita sudah insaf. Hebat juga yang namanya Lea itu. Jadi penasaran juga gue gimana tampangnya,” jelas Mahdi.
Luhut pun mengerti.
“Wah…aku juga ingin kena virus semacam itu tapi aku tak mau sampai jadi Romeo setengah sinting seperti Gian,” kata Luhut. Mahdi tertawa mendengar ucapan sahabatnya ini.
Romeo setengah sinting, julukan baru Gian. Bukan Don juan lagi. Hanya dengan satu ciuman itu. Ciuman di kelopak mata yang katanya menandakan ketulusan hati. Mungkin ketulusan Lea terbaca oleh hati Gian hingga menyentuh the best part dalam diri Gian dan membuatnya sanggup menjadi lebih baik.
That kiss….that only one particular kiss…

Ck, ck, ck, ck….! Cinta….oh cinta….
It does can change everything, even the hardest part you can imagine…..

Materi lama yang baru sempet di-‘explore’ sampe beres
Savitri Agnesia M.
November 2006

Read More..

Saturday, October 28, 2006

SURGA DUNIA*

Sudah hampir dua tahun lebih. Wajahnya tidak berubah. Hanya sekarang tidak ada kacamata yang bertengger di sana. Pey sepertinya agak sedikit gendut sekarang. Wajar saja mungkin karena jam tidurnya yang seperti kalong. Siang jadi malam, malam jadi siang. Atau bisa juga karena keseringan minum. Konon kebanyakan alkohol bisa membuat perut jadi sedikit tambun. Bukan cuma Pey yang jadi gendut. Olan malah berubah lebih ekstrim. Badannya semakin tinggi dan membesar. Dan….pipi tembem itu entah bagaimana bisa nemplok diwajahnya. Sempat aku ragu ketika tiba-tiba dengan senyum lebar dan wajah cengar-cengir Olan menyapaku. Rambut kribo yang diikat diujung kepalanya itu membuat aku seratus persen pangling. Beda lagi dengan si Congos, anak satu ini malah semakin kurus. Moga-moga saja kurus karena kelelahan mendentumkan senar basnya bukan karena benda-benda bejat yang selalu membuat orang kecanduan. Si Kuya sekarang memelihara kumis dan jenggot. Ia jadi kelihatan jauh lebih tua dariku. Tampangnya berbeda sekali dibandingkan dulu waktu dia memintaku mencarikan band yang butuh gitaris. Tidak ada tampang polos anak yang baru lulus SMA dan kebingungan mencari alasan supaya tidak dipaksa kuliah oleh ibunya.

Mendadak back stage itu menjadi tempat reuni darurat. Semua saling menyapa dan bertanya ini dan itu. Saling meng-up date hal-hal apapun yang bisa menambahkan beberapa memori tentang teman-teman lama yang menghilang dan tiba-tiba muncul lagi.
“Mana si Aa-nya?” Pertanyaan Pey seolah menjentikkan secuil ingatan yang lumayan membuatku terheran-heran ternyata ia masih ingat satu momen singkat itu.
“Oh… ga udah enggak lagi. Sekarang lagi ga sama sapa-sapa,” aku menjawabnya sambil menggerakkan kedua tanganku yang seolah mengisyaratkan jangan sebut-sebut lagi soal orang itu.
“Wah…yang bener masa nge-jomblo?” Sekilas aku menangkap sesuatu yang berkelebat dalam tatapan matanya. Pertanyaannya baru sempat ku jawab dengan senyum. Ucok tiba-tiba saja menepuk punggungku dan menyapaku. “Kemana aja, Teh?” Ucok sang drumer berbasa-basi dan percakapan pun berlanjut. Suasana reuni dadakan itu membuat banyak percakapan tak tuntas. Selain karena banyak yang nongol satu per satu dan saling menyapa, juga karena suara hingar-bingar pertunjukkan yang menghabiskan jatah frekwensi suara yang merambat ke telinga.

Setelah semua yang wajahnya ku kenal sudah kusapa. Aku mencari tempat untuk bersandar. Sedari tadi berdiri di depan panggung menemani Apauw memenuhi janjinya menonton penampilan temannya dipanggung, membuat kakiku pegal. Sebenarnya aku ingin sekali duduk tapi malu. Lagi pula kali ini aku pakai rok jadi bersandar saja sudah cukup membantu. Aku pun bersandar di sebelah Pey yang sedang bertukar nomor hape dengan Apauw.
“Sekarang menggang band apa, Teh?” tanya Pey tiba-tiba.
“Ah, sekarang udah pensiun. Capek nge-manajerin band melulu.” Dalam benakku berkelebat berbagai sensasi dari masa lalu, ketika masih rajin mengurusi anak-anak band dan ikut merasa senewen setiap kali mereka beraksi di-stage.
“Terus sekarang ngapain?” sekali lagi ia bertanya. Apauw yang tadi bercakap-cakap dengannya hanya celingak-celinguk mencari teman bicara yang lain.
“Sekarang sih ngelukis sama sekali-sekali ikutan pagelaran tari.”
“Tari?” ia kelihatan bingung. Wajar ia tak tahu aku juga suka menari.
“Tari sunda,” jelasku mencoba mengusir kebingungannya yang malah bertambah dengan ketidak percayaan. Wajar juga kalau ia tidak percaya. Seorang Cahyani Kasih yang ambisius dan cekatan berubah seratus delapan puluh derajat menjadi seorang pelukis dan penari sunda.
“Ya….sekarang lebih seneng ngejalanin yang kalem-kalem. Yang tenang-tenang. Pengen hidup lebih tentram,” lanjutku mengkonfirmasi kesungguhanku soal perubahan haluan hidupku. Pey menggangguk dan tersenyum. Raut wajahnya menunjukkan kelegaan yang tidak sepenuhnya aku mengerti.

Apauw yang tidak menemukan teman bercakap-cakap kembali menyita percakapan aku dan Pey. Walaupun aku, Pey dan Apauw dulu satu SMA tapi aku tak bisa mengikuti percakapan mereka. Mereka menyebutkan nama-nama yang tidak ku kenal. Mungkin nama-nama teman seangkatan mereka. Pey dan Apauw adalah teman seangkatan dan aku sendiri adalah kakak angkatan mereka. Kalau tidak salah aku lebih tua tiga tahun dari mereka.

Pey dan Apauw semakin larut dalam reuni mereka. Entah sudah berapa lama mereka tidak bertemu. Mereka begitu khusuk. Akhirnya aku hanya diam memperhatikan orang-orang yang lalu lalang sibuk mempersiapkan ini dan itu. Menjadi orang yang celingak-celinguk seperti Apauw sebelumnya. Tak sengaja siku Pey beradu dengan lenganku. Aku yang ada di sebelahnya tak sedikit pun bergeser. Ada sekelumit perasaan tak jelas namun ku tahan-tahan. Sikunya kembali beradu dengan lenganku. Aku tak bergeming. Lalu sekali lagi. Aku biarkan sikunya terus beradu dengan lenganku. Dalam pikiranku aku sempat berharap ia begitu untuk memastikan bahwa aku masih berdiri di sampingnya. Lucunya pikiranku itu. Segera aku tepiskan saja.

Karena diam dan tak ada teman bicara, pikiran yang aku tepiskan itu malah membuat otakku memaparkan secuil ingatan dua tahun yang lalu di sini, di tempat yang sama dan suasana yang kurang lebih mirip seperti sekarang.

Aku duduk sendirian tak ada teman bicara. Sementara yang lain ada yang bercakap-cakap, ada juga yang sibuk mengelap gitar. Adikku, Zaki, sibuk fingering dengan bas hitamnya. Waktu itu aku lihat Pey baru datang dengan teman-temannya. Band-nya sudah mulai naik daun. Band lokal yang sudah mulai dikenal karena rajin manggung dari kafe ke kafe dan sering nongol dibeberapa event. Aku menyalami mereka semua, bercakap-cakap sedikit lalu diam lagi. Pey sibuk meladeni beberapa orang yang menyapanya. Biasalah band yang digosipkan mulai dekat dengan artis management terkenal pasti sering jadi bulan-bulanan untuk jadi jembatan penghubung. Sesekali Pey melihat ke arahku dan tersenyum. Aku menangkap ada sesuatu yang tak biasa dari caranya menatapku. Sebut saja aku ke-geer-an tapi wajarkan kalau sebagian kecil hatiku mulai teradiasi senyumannya.

Setelah menyudahi basa-basinya dengan seorang laki-laki berdandanan serba putih dan bergaya RnB, Pey menghampiriku. Sebagian dari hatiku mengatakan ini dia. Pey ikut duduk disampingku dan mulai mengawali percakapan dengan basa-basi. Baru saja basa-basi itu sampai saling menanyakan kabar, dari balik kerumunan orang yang mulai berjejal di pagar pembatas back stage muncul orang yang kutunggu-tunggu, Jay. Aku membalas senyuman Jay begitu tatapan mata kami bertemu. Pey yang duduk disampingku terdiam. Ada perasaaan kecewa yang halus memoles raut wajahnya. Aku pura-pura tak menyadari kekecewaannya itu. Aku perkenalkan Jay padanya. Jay yang memang ramah membuat rasa bersalahku sedikit berkurang. Waktu itu pertama kalinya aku dan Jay jalan berdua. Pey yang tanggap situasi pamit dan bergabung dengan band-nya yang dari tadi ada dalam tenda putih tempat artis-artis bersembunyi dari fans mereka. Dari sudut mataku aku tahu Pey diam-diam mengamatiku dari celah penutup tenda yang tersingkap.

Seminggu kemudian Pey lewat di depan rumahku. Kebetulan waktu itu aku sedang menyiram mawar di halaman depan. Ia menghentikan motornya dan kami berbicara sebentar. Hanya basa-basi biasa tapi tidak biasanya ia menghentikan motornya dan turun menghampiriku untuk sekedar basa-basi saja. Biasanya ia hanya melambaikan tangannya sambil terus melaju ke rumah Rumi vokalisnya yang rumahnya memang berdekatan dengan rumahku. “Udah dulu ya Teh. Kayaknya anak-anak dah pada ngumpul,” katanya dulu, menyudahi basa-basi karena mobil Congos muncul di ujung jalan. Maaf Pey, kamu terlalu muda untukku itu yang aku pikirkan waktu itu. Dulu ketika hatiku masih didominasi oleh kehadiran Jay.

Sekarang Pey berdiri di sebelahku. Sedikit berubah tapi sorot mata itu masih tetap sama. Masih tersirat sekilas harapan di sana. Jujur saja aku terkejut melihat sorot mata itu. Hatiku yang kini polos tak berpenguasa berusaha tak terjangkiti wabah yang kerap kali membuatku kalap dan buta. Wabah itu bernama cinta.

Apauw pamit pulang. Dia mengingatkanku besok ada latihan tari. Aku diajak tampil di pagelaran tari yang sedang membuatnya panik kalang kabut karena salah-satu penarinya ada yang masuk rumah sakit. Kena demam berdarah katanya.
“Jam tiga sore ya Teh. Jangan lupa oke?” kata Apauw.
“Sip! Pasti dateng!” kataku.
Apauw pun pergi menghilang di keramaian orang-orang yang berseliweran. Aku dan Pey saling diam. Sebelum hening itu menjadi aneh dan kaku. Zaki yang juga ditinggal Ucok dan Congos menatap Pey. Mereka tersenyum. Seperti bicara dalam bahasa isyarat, mereka saling berbalas anggukkan kepala.
“Gimana kabar lu, Ki? Masih bergelimangan fans cewek?” Pey mencairkan hening.
“Ah… bisa aja. Bukannya lu yang sering disamperin cewek-cewek. Sekarang lagi jalan sama sapa?” tanya Zaki sambil menghampirinya dan merangkul pundaknya, menyelip diantara aku dan Pey. Otomatis aku bergeser. Aku jadi terhalang badan adikku yang tinggi dan berbahu lebar. Aku pun mengambil posisi dihadapan mereka berdua.
“Jomblo. Ga jalan sama siapa-siapa,” jawabnya setengah panik tanpa alasan jelas.
“Alaah…..masa sih..! Ga mungkin artis nge-jomblo,” goda Zaki.
“Eh, enggak serius. Lagi jomblo, Ki. Serius. Gue dah nge-jomblo delapan taun,” katanya sambil mengangkat lima jari kanannya dan tiga jari kirinya. Suaranya agak dikeraskan seolah ingin memastikan aku mendengar dengan jelas kata-kata nge-jomlo delapan taun. Kembali aku menangkap sorot mata berpengharapan itu. Aku tersenyum menanggapi percakapan itu.
“Pey!” Olan memanggil Pey untuk segera bersiap-siap. Pey mengangkat tangannya dan mengangguk.
“Masih lama kan di sini?” tanya Pey tetap dengan sorot mata yang penuh harapan itu. Aku membalas dengan anggukkan.
Pey pun pergi menghampiri seorang kru yang sedang mengeluarkan stand keyboard-nya.
“Pulang yuk!” kata Zaki tiba-tiba, tak peduli yang baru saja Pey tanyakan.
“Capek,” lanjutnya santai.
“Hayu,” jawabku datar. Jauh dalam hati aku ingin tetap ada di sana. Paling tidak sampai Pey selesai manggung. Entah kenapa aku tak berani bilang kalau aku masih belum mau pulang. Mungkin karena tak ada alasan yang cukup logis. Alasan yang tidak membuat Zaki bertanya-tanya. Entah kapan lagi aku bisa bertemu Pey. Biarlah. Lgi pula mungkin cuma perasaan saja.

Kesesokan malamnya aku berbaring kelelahan tapi tak mengantuk. Latihan tari sore tadi menjadi penggenap letihku hari ini. Pikiran dan hatiku yang tak genap menerawang mencari sesuatu yang mampu membuatnya menjadi bulat seperti angka genap yang tidak perlu menyisihkan satu angka tanpa pasangan. Pey berkelebat dalam benakku. Membuat dadaku menggumpal sesaat dan memaksaku menghembuskannya bersama udara dari paru-paruku. Kasian sekali hatiku ini. Ia selalu terlalu impulsif setiap kali radarnya menangkap tatapan mata yang tajam atau perhatian yang tak biasa dari seorang laki-laki. Ya, mungkin hatiku terlalu impulsif. Terlalu haus sehingga semua air diminum sekali pun air itu beracun. Ah…. Aku memang masih bego soal cinta. Setiap kali terasa ada yang bergetar sekalipun getaran itu halus sekali dan mungkin hanya getaran dari sekelumit rasa kagum bukan cinta, aku selalu merasa wajib mengejarnya. Menggapainya hingga bisa kulahap bulat-bulat. Bodoh. Bodoh!
Mendadak aku merasa begitu tolol. Hanya karena sikunya yang beradu dengan lenganku. Hanya karena ia bertanya apa aku masih lama ada di back stage. Hanya karena dulu ia tiba-tiba menghampiriku yang sedang bengong sendirian menunggu Jay. Hanya karena ia mau berhenti untuk berbasa-basi ketika aku menyiram mawar dulu. Hanya karena itu semua aku menyimpulkan itu sebagai cinta. Ya, Tuhan betapa konyolnya aku. Konyol. Bodoh. Tolol. Ah….lengkap sudah rasanya aku menjadi bulan-bulanan wabah yang namanya cinta itu. Funny thing called love that feels like a deadliest cursed to me.

Seharusnya aku belajar banyak dari pengalaman cintaku dengan Jay. Padahal sudah lebih dari setahun yang lalu aku putus dengan Jay. Kenapa aku tak pernah kapok dan belajar lebih sabar mengenali apa yang benar-benar aku rasakan. Ah sudahlah….! Toh belum tentu aku akan bertemu Pey lagi. Kali ini aku sudah capek mengejar. Lagi pula untuk apa aku mengejar cinta. Paling-paling akhirnya aku juga yang jatuh dan kesakitan lagi. Lupakan saja.

Pagelaran tari selesai. Semua senang. Semua puas. Apauw layak membusungkan dada dengan proyek yang terbilang sukses. Dan aku bisa kembali dengan cat, kuas dan kanvas. Aku buka jendela lebar-lebar membiaran udara bebas keluar masuk semaunya. Kanvas masih kosong. Sekosong isi kepalaku. Lima menit berlalu. Masih kosong. Setengah jam. Sama, kosong. Satu jam. Tetap kosong. Aku pun berdiri. Membuka lemari kaca. Mengambil kamera digital. Kamera digital biasa bukan seperti milik para forografer hebat itu yang bentuknya serba berat dan kotak-kotak. Kameraku benar-benar kamera pocket yang tipis dan berwarna merah. Aku menggunakannya hanya sekedar untuk iseng jeprat-jepret sambil jalan-jalan kalau isi kepala sedang mentok seperti sekarang.

Setelah berganti pakaian dan memutuskan untuk pergi ke kafe pinggir jalan yang sederhana dekat balai kebudayaan di tengah kota. Aku pun pergi dengan kamera di tas tanganku. Sesampainya di sana sudah ada Rani, Bowo dan Tiar. Mereka teman-teman ngobrolku kalau sedang suntuk. Kamera tak jadi kugunakan. Aku habiskan waktu mengobrol sana-sini.
Triditdit! Trididit! Hapeku tiba-tiba berbunyi.
“Suara hape kamu koq kayak alarm sih?” Rani protes.
Aku hanya nyengir dan langsung menjawab telepon.
“Ya, halo?”
“Halo. Teh, lagi ngapain?” tanya suara itu.
“Hm… Ini siapa ya?” Aku tak suka mengatakan apa yang sedang kulakukan pada orang yang tak ku kenal.
“Ini Pey. Ngeganggu ya?”
Dug! Tiba-tiba ada satu hentakkan kuat di jantungku diikuti dengan degup-degup jantung yang sama kuatnya.
“Oh, enggak. Enggak ngeganggu koq. Pey lagi dimana?” tanyaku langsung sambil menjauh dari Rina, Bowo dan Tiar. Kenapa harus bertanya seperti itu. Ah… wabah tolol itu.
“Aku ada di seberang jalan.”
“Hah..!” Aku langsung mendongak dan melihatnya melambaikan tangan diseberang sana. Aku balas melambai.
“Sendirian?” tanyaku lagi.
“Iya, abis nyari CD blank,” katanya sembari tengok kiri kanan mau menyeberang.
“Oh..,”kataku.
“Ga ngeganggukan?” tanyanya lagi.
“Oh, enggak. Ikut gabung aja sama kita,” ajakku.
Telepon ditutup. Pey sudah menyeberang dan berjalan menghampiriku.
“Koq bisa tau nomor telepon teteh?” tanyaku setelah Pey berada cukup dekat.
“Dari Apauw,” jawabnya singkat.

Aku kenalkan Pey pada yang lain. Kami pun mengobrol tapi tak lama Tiar pamit pulang. Kemudian Rani pun pamit dan disusul Bowo selang lima belas menit kemudian. Tinggal aku dan Pey. Anehnya ketika temanku satu per satu sudah menghilang, aku dan Pey malah saling diam. Terus diam, hingga diam dirasa menjadi tak wajar. Pulang pun aku masih belum mau. Aku mulai sibuk mencari-cari bahan obrolan.
“Aneh ya.” Sekonyong-konyong Pey berkata demikian.
“Aneh?” aku heran.
“Iya. Kita. Aneh.” Kata-katanya semakin tak kumengerti tapi ada sesuatu yang membuatku menahan nafas pelan-pelan.
“Maksudnya?” aku kembali bertanya.
Pey menghela nafas seolah penjelasan kata aneh mengandung beban seberat berjuta ton.
“Kita kayak lagi maen kucing-kucingan,” katanya lagi, membuatku semakin bingung.
“Kucing-kucingan?” aku menatapnya penuh tanya. Dan…di dalam sana ada sedikit harapan yang kembali menyembul. Wabah sialan!
“Dulu waktu pertama kali kenal teteh, aku seneng ngeliat ada perempuan yang gesit dan sabar ngurusin anak-anak band.” Pejelasan yang cukup membuatku resmi wajib menahan apapun yang menyebabkan hatiku melambung-lambung tak jelas.
“Aku sempet khawatir juga sih,” lanjutnya.
“Kenapa khawatir?” tanyaku dengan tololnya. Ah….wabah sialan ini.
“Ya.., khawatir kalo teteh harus pulang malem-malem sendirian.”
“Ah, kan udah biasa. Lagian bisa pake taksi,” jawabku seringan mungkin.
“Ya, aku sih tetep aja khawatir. Tapi untungnya setiap khawatir itu muncul selalu ada cowok yang nemenin teteh pulang.” Aku teringat Pey tidak hanya kenal Jay saja tapi ia juga kenal Fian temannya pemain drum di band yang berbeda dan seumuran denganku yang juga sempat jadi pacarku. Aku diam tak tahu harus bilang apa. Tepatnya aku malu juga karena pasti aku terlihat sering ganti-ganti pacar.
“Sekarang teteh pulang sama siapa?” tanyanya tiba-tiba memecah diam yang tercipta karena sepertinya Pey pun tak tahu harus bicara apa lagi setelah menceritakan tentang kekhawatirannya terhadapku.
“Ya..seperti biasa. Sendirian,” jawabku datar.
“Kalo gitu boleh aku sekarang ngaterin teteh pulang setiap kali teteh pulang kemaleman atau kapanpun teteh pengen dianter?”
Pertanyaan aneh. Aku tak sepenuhnya bisa mencerna maksud pertanyaannya. Aku menoleh ke arahnya. Dan….aku terkejut melihat sorot mata pengharapan yang sudah tak lagi ditutup-tutupi. Aku palingkan wajahku. Takut si wabah sialan kembali meracuni setiap molekul hatiku.
“Sebenernya yang aku khawatirin bukan cuma kalo teteh pulang kemaleman tapi juga khawatir teteh disakitin. Emm… emang sih bukan hakku buat nge-judge¬ mereka bikin teteh sakit hati atau enggak karena teteh yang paling tau apa yang teteh rasain,” katanya lagi lalu diam seolah memberi ruang bagiku untuk menyangkal dalam hati bahwa aku justru tidak pernah tahu apa yang aku rasakan.
“Makanya aku pengen jadi orang yang bisa ngejagain teteh. Sampai kapanpun,” katanya dengan penegasan pada dua kata terakhir. Aku menoleh ke arahnya dan kembali menemukan sorot mata itu. Sorot mata yang membuatku kembali memalingkan wajah dan tak tahu harus bersikap bagaimana.
“Sebenernya dari dulu aku udah pengen bicara seperti ini sama teteh tapi ya itu tadi, aku ngerasa kita kayak maen kucing-kucingan. Setiap kali kesempatan dateng untuk bicara atau paling enggak bisa deket, tau-tau selalu ada cowok laen yang udah ngeduluin,” katanya lagi sambil sedikit menahan tawa miris.
“Sekarang, aku ga mau kehilangan kesempatan lagi. Makanya aku sekarang jujur sama teteh. Jujur kalo dari dulu aku suka sama teteh. Boleh dibilang cinta tapi kayaknya norak kalo bilang ‘aku cinta teteh’,” katanya sambil tertawa kecil. Aku kini menatapnya sungguh-sungguh mencari sesuatu dari sorot matanya yang bisa aku jadikan pegangan kalo dia benar-benar berkata jujur. Ada seulas rona merah diwajahnya yang membuatnya terlihat lucu tapi terkesan fresh.
“Hhhh…..aku udah latihan bertahun-tahun untuk milih kata-kata yang tepat, yang pas tapi ga norak kayak sinetron,” lanjutnya sambil menahan tawa. Sekarang gantian Pey yang tidak berani menatapku.
“Akhirnya bisa juga aku ngomong kayak gini sama teteh. Lega rasanya.” Wajahnya terlihat tidak setegang sebelumnya. Pasti lega sekali rasanya mengeluarkan gumpalan perasaan yang terus dipendam bertahun-tahun. Aku tersenyum melihatnya. Tapi aku tetap tak tahu harus berkata apa. Aku diam kembali, lalu menundukkan kepala. Mencoba menyelami perasaanku sendiri. Menyelami gaduhnya hati impulsifku. Cintakah? Sejati atau sesaat? Benar-benar tuluskah orang yang bernama Ferdian ini? Apa hatiku kali ini tidak akan apa-apa? Aku terus bertanya dan bertanya pada hatiku sendiri. Jawabannya selalu ya, ini cinta, cinta, cinta, cinta. Tapi entah kenapa kini logikaku merasionalkan segalanya dengan sabar, sabar, sabar, take your time, don’t rush in, cinta butuh waktu ‘tuk merasakannya.
Aku angkat kepalaku. Sekilas aku melihat tangan Pey yang urung meraih tanganku. Ia tersenyum tulus. Aku pun tersenyum.
“Teteh jangan kebebanin sama apa yang aku omongin ya. Aku cuma pengen jujur aja. Teteh ga jawab atau teteh nolak juga enggak apa-apa. Aku sama sekali enggak mau maksa, aku cuma pengen jujur aja,” katanya begitu melihat aku hanya tersenyum tanpa sepatah katapun yang keluar dari mulutku.
“Pey…,” kataku pelan. Sepertinya diamku yang cukup lama membuat pita suaraku harus bekerja keras untuk mengeluarkan suara. Pey menatapku dalam-dalam membuat dadaku sedikit sesak.
“Aku ga tau harus bilang apa. Yang pasti ga akan ada orang yang ga seneng dengerin kejujuran seperti itu.” Sekuat tenaga aku berusaha untuk mengatur nada suaraku. Raut wajah Pey berubah sendu seperti dulu ketika Pey melihatku membalas senyuman Jay.
“Aku juga harus jujur,” lanjutku.
“Jujur aja perasaan itu mungkin ada, dari kapannya aku ga tau pasti tapi ada,” kataku melanjutkan penjelasan yang terputus. Pey tetap diam, ia menyimak setiap kata yang terlontar dari mulutku.
“Sebenernya sekarang aku lagi takut sama apa yang aku rasain. Bener kata kamu yang dulu-dulu itu emang bikin sakit hati. Dan aku juga ga mau sakit hati lagi.” Aku melanjutkan ucapanku sambil terus menatapnya, berharap ia tak salah mengerti.
“Mungkin dulu aku jadi patah hati karena salahku sendiri. Sering kali salah menilai perasaan sendiri dan terlalu terhanyut dengan perasaan itu. Jujur aja aku salut sama kamu yang bisa mantap dengan perasaan kamu. Pey, aku ga sepintar kamu soal urusan perasaan seperti ini.” Aku terus menatapnya berusaha meyakinkannya bahwa ini bukan penolakan. Pey meraih tanganku, menggenggamnya dan tersenyum.
“Kamu mau kan bersabar?” tanyaku perlahan, nyaris berbisik. Pey menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. Aku sadar telah mengajukan pertanyaan egois. Memintanya bersabar setelah sekian tahun ia pendam perasaan itu dengan kesabaran luar biasa.
“Aku ga mau kejebak dengan istilah pacaran. Status pacaran sering kali ngebuat aku menuntut terlalu banyak dan membuat hal yang belum layak jadi dianggap wajar karena status pacar. Ngebuat aku makin buta buat menilai orang yang akhirnya sering kali bikin aku kecewa dan patah hati. Padahal yang aku pengen adalah orang yang bisa jadi teman buat ngabisin seluruh sisa hidupku dan kamu pasti tau nyari teman seperti itu ga gampang. Aku udah capek pacaran, Pey. Tapi aku ga mau juga kalo harus ngabisin sisa hidupku tanpa ada orang yang paling berarti di sisiku. Aku butuh waktu untuk tau perasaanku sendiri dan untuk benar-benar kenal kamu. Untuk benar-benar yakin. Kamu ngertikan?” tanyaku setelah penjelasan panjang lebar karena takut Pey salah tanggap.
“Aku ngerti. Ngerti banget,” jawabnya sambil tersenyum, “Ga jadi masalah seberapa lama waktu yang teteh butuhin untuk bisa yakin, aku tetep bisa sabar.” Aku tersenyum lega. Mendadak kata ‘teteh’ dirasa tak pantas diucapkan oleh Pey untukku. Ia terlihat dewasa melebihi umurnya.
“Makasih, Pey…” kataku tulus.
“Berarti ga masalah kan kalo aku anter teteh pulang?” tanyanya ringan.
Aku tersenyum. “Enggak. Tapi jangan panggil aku ‘teteh’ lagi dong,” protesku.
“Hm…kalo soal itu kayaknya teteh harus sabar, mau gimana pun lebih enak kalo manggil teteh,” katanya sambil tertawa. Sialan, pandai bercanda juga anak ini. Jariku pun menjentik pelan dahinya seraya berkata, “Dasar!”
Pey pun terus tertawa. Dan semua terasa lebih ringan. Dan hatiku yang impulsif berhasil melewati satu fase kedewasaannya.
“Dah malem. Aku anter teteh pulang sekarang?” katanya setelah menguasai tawanya dan meneguk sisa terakhir kopi dari cangkirnya. Aku mengangguk. Kami pun berdiri dan berjalan berdampingan. Entah kenapa badannya yang hanya beberapa senti lebih tinggi dariku terasa berdiri menjulang disampingku sepertinya siap untuk selalu berada disisiku, menjagaku seperti yang dikatakannya. Logikaku kembali menasehati. Cinta tak harus dicari, butuh waktu tuk merasakannya. Karena cinta seharusnya menjadi surga dunia.*

Savitri, September 2006
* Lirik lagu ‘Surga Dunia’- Topaz.

Read More..

Monday, October 09, 2006

ugh!!!! Ganbatte!!! Angelus, fighto!!

Terkadang kita hanya bisa diam dan meringis…… bukan kesakitan hanya saja kita harus tega menyaksikan diri kita sendiri tersiksa, meskipun sebenarnya mungkin beribu-ribu kesaktian telah kita kuasai…… hanya saja waktu menutup mulut kita dan mengikat tangan kita, hingga waktu - yang entah kapan - akan melepaskan semua yang mengekang…… pada saat itulah diri kita akan secantik kupu-kupu yang baru keluar dari kepompongnya…… pada saat itu mereka tidak lagi bimbang akan kedigjayaan diri kita…… pada saat itu mulut dan tangan benar-benar menjadi hak kita, benar-benar menjadi kekuasaan kita sendiri……

Duduklah dengan tenang dan nikmati setiap anugerah khayali yang hadir…… meski bukan hiburan hati yang nyata nampak, terekam melalui retina mata, tapi percayalah mungkin untuk saat-saat tertentu hanya itulah yang dapat menerbitkan seulas senyum dibalik wajah lelahmu……

Allah menciptakan manusia dengan otaknya yang bisa ia gunakan untuk berkhayal…… Allah Maha Adil, manusia mempunyai tugas yang berat dimuka bumi ini maka dari itu Allah menciptakan dunia yang hanya dapat dicapai oleh khayalan manusia untuk menjadi penghibur dikala sedih, penyemangat dikala suntuk. Berpikir dan berkhayal menjadikan manusia mahluk yang mulia dan unggul, karena itu manusia diberikan derajat yang tinggi………
……… hhhh ngomong apa sih gw niihhh……

Sebenernya ni tulisan setahun yang lalu (nov 28, 2005). Tapi berhubung apa yang sedang aku rasain sekarang sama jadi pengen aja post yang atu ini......

Ternyata masih ada perjuangan besar yang harus aku jalanin sendiri lagi..., nyaris abis tenaga niiih.... wish someone would stand here with me.....

Read More..

Friday, October 06, 2006

Jujur, buat apa???

Kejujuran itu adalah sebuah keharusan dalam setiap hubungan antara manusia.
Karena setiap hubungan akan terus mengalami proses dan proses itu baru bisa dilalui dengan baik jika kita benar-benar jujur dalam menghadapi proses yang dijalani.

Sebuah kebohongan hanya akan menghambat perkembangan dari hubungan itu. Tapi sebaliknya kejujuran akan membawa sebuah hubungan ke tingkat yang lebih baik, yang mungkin dapat lebih menjamin kelanggengan hubungan itu sendiri.

Jujur itu memang kadang menyakitkan tapi akan lebih menyakitkan lagi jika teman kita membohongi kita hanya sekedar untuk menjaga perasaan. Niatnya memang baik, “menjaga perasaan”, tapi caranya sangatlah kejam. Menyembunyikan sebuah kenyataan dari seorang teman itu adalah perbuatan yang akan sangat menyakitkan hati.

Jika anda adalah seorang teman yang lebih senang ‘menjaga perasaan’ berarti anda adalah seorang pengecut yang mengganggap teman anda adalah pengecut. Selain itu anda juga berarti mengganggap teman anda adalah seorang yang lemah, sekalipun jika memang benar teman anda adalah orang yang lemah maka anda sama sekali tidak membantunya untuk menjadi seseorang yang lebih kuat dengan cara menutupi kejujuran anda.

Jadi untuk apa kita takut mengatakan sebuah kejujuran jika setiap kejujuran itu akan membawa kepada hal yang lebih baik. Hidup kita pun akan lebih nyaman jika selalu berkata jujur.

Semoga ini dapat menjadi alasan yang cukup kuat untuk selalu berkata jujur.

my thoughts in a bless of mid-night silence........

Read More..

Monday, October 02, 2006

Kissing You.....

“Cia, boleh nggak?”
“Boleh apaan?”
“Kiss you.”
Cia tersipu, “Boleh…”

Mata terpejam. Bibir saling bersentuhan.
Hati bergetar.

Pikiran beku.
Lidah mereka bersentuhan.

Hisapan lembut.
Pelukan erat.
Gigitan mesra.

Tarikan nafas.
Degupan jantung.

Luapan rasa berbumbu ketulusan hati.

Kelopak mata Cia masih tertutup. Bibir mereka sudah tak saling melumat lagi. Alfin masih memeluknya.
Perlahan Cia membuka matanya. Mereka saling berpandangan sesaat. Pandangan mata yang jauh menerobos ke dalam dasar hati.
“Alfin, you’re the best kisser.”, Alfin membalasnya dengan senyuman dan pelukan.
“I love you.”, bisik Alfin.
“Fin, boleh?”
“Boleh apaan?”
“Kiss me again.”
………

Ketika ciuman berarti ketulusan cinta siapapun selalu ingin merasakannya lagi, dan lagi, dan lagi……

Rabu, 15 Juni 2005

Read More..

Keputusan Zaki

Selama kita masih bernafas kita tidak akan pernah bisa lepas dari yang namanya membuat keputusan. Setiap saat setiap detik kita selalu harus menentukan keputusan. Keputusan yang harus diambil setelah disodorkan sekian banyak pilihan. Mulai dari sekedar memilih baju mana yang akan dipakai hari ini, memilih menu makan siang, sampai memilih hal yang menentukan jalan hidup kita di hari-hari selanjutnya.

Baru-baru ini Zaki, adik laki-lakiku, memutuskan untuk jadi full time student. Kelihatannya memang hal yang wajar dan sudah seharusnya semua mahasiswa memilih untuk serius kuliah. Tapi lain ceritanya kalau dia harus melepaskan sesuatu yang sudah diakrabinya sejak SMA. Band-nya. Bass-nya. Musiknya. Memang ini bukan keputusan permanen. Setelah ia tamat kuliah, ia akan kembali lagi ke semua yang terpaksa ditinggalkannya sementara itu.

Aku yakin tidak ada seorang pun yang menyangka ia akan mengambil keputusan itu, termasuk aku. Coba saja bayangkan. Pada saat band yang sudah diperjuangkan dan dipertahankan bertahun-tahun bisa dipastikan masuk dapur rekaman, dia memilih untuk keluar dari band dan serius kuliah. Produsernya bahkan menyebutnya 'epes meer', takut sebelum memulai. Nugra, lead guitarist-nya, memilih untuk tidak peduli dan tidak mau dipusingkan dengan keputusannya. Luki, gitaris yang satunya, meracau nggak karuan. Vokalisnya, Wikas, mungkin keliatannya menerima dengan lapang dada tapi dari apa yang diceritakan Zaki padaku, aku rasa perlakuan Wikas pada adikku akan berubah. Satu-satunya yang bisa mengerti dan mau menerima keputusan itu dengan tulus hanya Igo, si drummer.

Tak peduli respon seperti apapun yang muncul tetap ada satuhal yang aku rasa harus diketahui mereka semua. Yang tersakiti oleh keputusan itu bukan hanya mereka tapi juga Zaki.
"....rasanya pengen nangis tapi ga tau lah. Rasanya sakit, lebih sakit dari waktu putus sama Marsya."

Itu yang dia katakan besoknya setelah ia mengutarakan keputusannya pada produser. Dengan nama Marsya disebut sebagai pembanding rasa sakitnya, aku amat sangat mengerti seperti apa sakit yang ia rasakan. Marsya adalah satu-satunya momen dimana ia belajar dan tahu apa itu cinta yang tulus. Ternyata keluar dari band lebih menyakitkan dari patah hati. Aku bisa merasakannya karena dulu aku sempat menjadi manager band-nya sebelum berganti nama dan mengubah formasi. Aku tahu betul perjuangan yang telah ia lalui demi mendapatkan satu kesempatan recording. Aku tahu rasanya meninggalkan sesuatu yang dicintai sungguh-sungguh sepenuh hati, meskipun selama menjalaninya dirasakan seperti ada beban besar yang selalu menggantung di setiap sudut benaknya. Aku tahu rasanya. Aku kenal perihnya.

Sebenarnya ada setitik rasa bersalah yang aku rasakan atas keputusannya itu. Tiga hari sebelum ia berbicara pada produsernya, aku dan Zaki begadang dua hari berturut-turut. Kami membicarakan tentang hidup, hidup kami masing-masing. Zaki mengatakan ia sedang bingung dengan apa yang dijalaninya sekarang. Semuanya menggantung. Tidak ada yang jelas. Band dan kuliah kedua-duanya membuat badan dan mentalnya terkuras habis. Ia tidak bisa konsentrasi penuh, baik di kelas maupun di studio. Pulang ke rumah selalu dengan otak, badan dan mental yang kelelahan. Aku rasa pasti berat rasanya membagi isi kepala dengan dua hal yang sama-sama memberi beban tanggung jawab yang besar. Di band ia bertanggung jawab untuk memenuhi ekspektasi teman-temannya juga produser serta orang-orang industri. Di kuliah ia bertanggung jawab lulus pada ibu dan ayah. Sebuah balas budi dan pemenuhan harapan semua orangtua.

Aku memberinya masukan. Dulu ia memilih untuk tetap nge-band dan juga tidak mau melepaskan kuliah. Maka sekarang pilihan itu harus dijalani sebaik mungkin. Tapi satu yang harus diingat. Pilihan yang tepat tidak akan membuat kita merasa gamang, seperti apapun sulitnya tidak akan ada istilah 'tidak nyaman'. Jika kita merasa tidak nyaman berati ada yang salah dengan pilihan kita. Di saat itu kita harus berani untuk melihat dan me-review pilihan kita. Memetakan apa yang menjadi penyebab ketidak nyamanan dan menentukan solusinya. Kurang lebih seperti itulah masukanku di hari pertama kami begadang sampai subuh.

Sepertinya Zaki memahami apa yang aku utarakan lalu mencoba saranku itu. Keesokannya kami begadang lagi. Kali ini dia mengatakan, "Mungkin masalahnya ada di Zaki sendiri. Tidak cukup tahu kemampuan diri sendiri. Bukan cuma urusan musik tapi juga kemampuan Zaki untuk menampung dua beban berat yang harus dijalani disaat yang sama."
Aku bangga ia tidak menyalahkan orang lain atas ketidak nyamanannya. Padahal aku sendiri sering menganggap masalah itu muncul karena personil yang lain tidak bisa bersikap dewasa menghadapi setiap masalah yang harus dilalui band ini.

Pada saat itu ia mengutarakan pertimbangannya untuk mengundurkan diri dari band. Aku berusaha memberinya masukan yang objektif. Aku katakan bahwa keputusan itu adalah keputusan yang vital. Tidak hanya akan berpengaruh besar pada dirinya tapi juga pada orang lain, terutama teman-teman satu band-nya. Jadi harus dipikirkan baik-baik. Ia harus mampu melihat semua sisi secara keseluruhan. Aku juga mengatakan padanya bahwa ia harus mengingat kembali tujuan awalnya bergabung dengan band. Apakah ia ingin maju sebagai musisi atau maju sebagai bassist band-nya. Bagiku ini adalah pertanyaan penting yang harus ia jawab sendiri sebagai bahan pertimbangan keputusannya. Itulah yang aku utarakan di kali kedua kami begadang.

Pada awalnya aku kira ia akan menunda niatannya itu sampai bulan november. Katanya pada bulan itu akan diputuskan apakah band-nya layak masuk dapur rekaman atau tidak. Tapi nyatanya ia memilih tidak menunda dan dengan bulat memilih untuk keluar dari band. Jujur aku sedikit kecewa. Ibuku pun terlihat agak kecewa. Tapi setelah aku tahu dengan jelas alasannya aku yakin keputusan yang diambilnya adalah keputusan terbaik untuk semua orang.

Alasannya cukup membuatku kagum dengan pemikirannya yang panjang ke depan. "Kalau Zaki berhasil di musik semua orang tentu akan kagum tapi tetap dibalik kekaguman mereka selalu ada ucapan bagus sih bisa terkenal jadi artis tapi apa bagusnya kalo dapet status drop out kuliah. Lain kalo Zaki lulus kuliah, meskipun ga kerja kantoran tapi Zaki bisa lebih tenang memulai bermusik dari awal lagi," itulah alasannya.
Ketika aku tanyakan,"Gimana sama anak-anak nantinya?"
"Mereka ga akan apa-apa, sekarang udah ada produser yang bisa bantuin mereka. Dan kalau mereka jadi sukses, Zaki tetep bangga sama mereka dan bersyukur ternyata keputusan Zaki baik untuk semua."

Itulah Zaki, adikku. Aku bangga ia mampu mengambil keputusan besar dan siap menjalaninya.
Good luck, Zaki.... Hidup harus dihadapi bukan hanya dipikirkan....!

Read More..